12. CINTA ITU BUTA

50 14 15
                                    

Bab 12. CINTA ITU BUTA

"Cinta itu buta. Bagaimana tidak buta? Orang tanpa melihat aja tetep cinta."

—Tyo Rini—

"Saya belum tahu apa-apa," jawab Gus Fuad.

"Serius Gus?" tanyaku.

"Nggak ada yang saya bicarakan dengan canda, kamu ngerti ... paham?" Beliau langsung pergi.

'Astaghfirullahaladzim kenapa Gus Fuad mendapat virus dari Gus Afif? Kenapa berubah menjadi garang?'  batinku.

Entah hanya sebuah kepura-puraan atau menutupi supaya tidak menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan. Raut wajah beliau sangat serius berbeda dengan biasa-biasanya yang tampak kalem, kini berubah menjadi sangar. Semesta memang bukan untuk bercanda, tetapi mulut tak mampu menahan tawa. Karena apa ya? karena apa lagi kalau bukan melihat perubahan drastis tersebut yang membuat lidah-lidah bergoyang meskipun bibir berusaha untuk tetap diam. Kesannya sangat lucu ketika seseorang yang alim tiba-tiba menggunakan jurus sangarnya yang mana membuat setiap yang melihat menjadi merasa resah.

"Hahaha cie yang baper," ledek Sari.

"Ah entahlah ini semua gara-gara kalian ini berisik sama Mbak Mbak Mbak sepupunya Gus itu berisik amat sih jadinya kan rame, runyam!"

****

Pada akhirnya perseteruan itu pun usai. Ni'ma dan Alfi kembali bersama dengan penuh bahagia, kembali bercerita dan bercanda bersama lagi. Saat waktu sekolah Alfi memberikan sepucuk suratnya itu untuk Ni'ma sebagai permintamaafannya. Yes! Kembali utuh bestieku Tolak Njarot!!

"Udahlah B aja kalian ini. Udah sumpek ngurusin Gus Fuad, Aceng. Malah kalian nggak akur," celetukku.

"Yaaa namanya cemburu," kilah Ni'ma.

"Hehe, iya. Maap sekilllaaahh, kita pro lagi sekarang. Kangen!" Alfi memeluk Ni'ma yang ujungnya menjadi bahan tawa kita semua.

Sial, sorak-sorak para santri saat ada acara di serambi masjid membuat kepalaku pusing lagi, mereka mengatakan kalau aku mencintai Gus Fuad padahal kan sama sekali aku tidak menyukainya. Wajar bukan kalau aku bangga dengan keahliannya, bangga dengan kelembutannya, kegantengannya apalagi namanya juga wanita normal. Akan tetapi, aku juga bingung dengan hatiku kenapa rasanya kosong saja?

"Lihat tuh Gus alim maju," goda Ni"ma.

"Cieee Aceng Aceng Aceng Aceng," imbuh Alfi.

"Tolong dong!  Jagain aku dikit napa! Aku nggak mau nanti digarangin lagi sama Gus!"

"Emangnya Gus Fuad sudah tahu kalau Aceng itu dirinya? Wah wah ada rahasia besar nih nggak mau ngungkap kamu, Rin!"

"Ya nggak gitu juga tapi mata kalian itu ngarahnya ke aku, semua mata mulutnya mengarah ke aku, ya lama-lama pasti tau sendirilah meskipun akunya belum tahu. Ah firasat aku udah yakin tuh Ning Marsya udah ember!"

Sumpah malu banget Gus Fuad jadi melirik ke aku, ya nggak tahu ini harus salting, overthinking, atau harus ngebanting harga diri yang selama ini aku bangun?! Meresahkan sekali. Astaghfirullahaladziim.

"Fa, kenapa kamu nyatet jadwalnya yang ceramahin hari ini Gus alim, sih? Huaaaaa? Kenapa bukan Gus Azhar aja?"

"Hahaha, semua udah ngikut peraturan," jawab Athifa.

Ini kegiatan sekolah, kegiatannya di sekolah bersama semuanya, santri kalong, santri menetap, atau maupun yang tidak mondok. Akan tetapi, kalau kegiatannya ini adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh pesantren. Jadi tetap Athifa yang mengatur karena dia adalah pengurus kegiatannya. Kan lebih untung kalau Gus Azhar, tidak mungkin bikin aku nerveos, biasanya juga  Gus Azhar. Entahlah kenapa sekarang jadi Gus alim ini yang tugas di sini, biasanya Gus alim ini di bagian MTs-nya yang mengurus para remaja bocil.

***

DOK DOK DOK.

"Mbak taksih dangu? Bere sintan?" tanyaku

"Mbak Cacha," jawabnya.

"Takdisiki yo Mbak, soale badhe diutus Ummi," kilahku.

"Kamu bilang ke Mbak Cacha Rin," sarannya.

"Okeeehhh," jawabku.

Mau makan antri mau mandi juga antri. Mau apapun antri, bahkan jodoh pun juga antri, tetapi kalau yang satu ini bukan untuk santri saja,  melainkan untuk semua orang. Sudah menjadi tabiat yang melekat bahwasannya antri adalah salah satu kata yang sangat mendebarkan aku di sini. Iya, namanya manusia terkadang sampai marah, bertengkar karena yang ditunggu itu kalau mandi terkadang lama sekali, ada juga yang mendahului tidak bilang-bilang. Jadi kesal sendiri bukan bagiannya langsung disuruh main seruduk saja. Makanya tadi Mbak Aisyah bilang suruh bicara Mbak Cacha dulu karena takutnya terjadi pertengkaran yang malah menimbulkan banyak masalah sehingga aku terlambat dalam melaksanakan tugas dari Ummi.

"Mandi sini aja, Rin," kata Athifa.

"Emang kosong habis kamu nggak ada?"  tanyaku

"Iya ini tadi aku sudah staf terakhir yang di sini," jawab Athifa.

Orang mau mandi atau mau konser suaranya Ni'ma sama Alfi kencang sekali menyanyi, padahal kan baiknya kalau di kamar mandi tidak seperti itu. Aku dan Athifa  terbiasa mandi yang di kamar mandi depan yang mana pintunya itu tertutup rapat khusus pada ruangan.  Akan tetapi, kalau Sari, Ni'ma,  dan Alfi sukanya di dalam kamar mandi yang terbuka.  Mksudnya terbuka tidak terlihat juga kali dari luar, hanya  modelnya itu satu pintu masuk terus ada lorong-lorong.

"Hmmm, tapi gak papalah. Baru hari ini setelah sekian hari mereka terdiam," gumamku.

Tiba-tiba aku pengen pulang, rindu dengan Bapak yang tinggalnya di luar kota denganku. Kakakku juga begitu, aku sudah lama tidak bertemu dengannya yang mana Kakak tinggal bersama Bapak sedangkan aku ikut dengan tanteku di Ponorogo. Yang lebih bikin rindu itu sebenarnya ya Ibu.  Akan tetapi, bagaimana? Hanya bisa menerangkan kerinduanku ini lewat doa.

Pertemuan kami bukan lagi tentang pertemuan dua mata yang bisa saling bertatap sapa, bukan lagi tentang lisannya yang bisa saling berbicara, dan bagiku tanteku adalah sosok yang bisa mencerminkan ibuku sekali. Setidaknya, jika aku bersama tante, aku bisa merasakan kehangatan Ibu, ya meskipun aslinya tetap berbeda.

"Aduh, emang boleh  semelow ini?"

Entahlah, kerinduan itu datang tak diundang. Kerinduan datang tak melihat situasi. Kerinduan tak mengetuk pintu dulu,  ia langsung menerpa sekalipun aku sedang bercanda. Tidak banyak yang tahu mungkin kalau aku sedang menahan ini semua.  Karena memang aku orangnya suka bercanda dan sedikit sesuatu yang mengandung bahan lucu itu sudah membuatku tertawa. Hampir lupa, harus mempercepat mandi juga ini  karena diutus Ummi Aisyah  untuk mengantarkan makanan, stop melow!

"Mbake, sek suii?" tanya salah satu santri.

"Mboten Mbak sampun iki," jawabku.

"Oke-oke cepat ya aku mau ketemu ini mau ada bisnis sama Gus Fahri."

DEGHHH.

ELLLOOH? NGAPAIN BERDEBAR SIH, RIN? PAYAH! APA IYA SELAMA INI AKU CINTANYA KE GUS FAHRI?"

Rumit, cinta atau apa yang pasti aku masih mengharapkan seseorang yang seperti di novel fiksi kesayangan aku itu yang ada di aplikasi terkenal. Begini sekali ya beranjak dewasa, cinta cinta cinta cinta cinta cinta cinta mengelilingi jiwa.  Benarkah ini termasuk definisi cinta itu buta?

 Basmalahnya Gus untuk Mbak Santri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang