3 - Serein

1K 85 1
                                        

"Heh cupu, kerjain PR kita bertiga! Sekarang ya!"

Pagi itu Aksa langsung disambut oleh Jordan yang melemparkan buku miliknya, Martin, dan Brian ke atas meja. Aksa menatap buku-buku itu dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Ayolah, dia bahkan baru saja duduk di kursinya.

"Kenapa? Keberatan lo?" tanya Jordan lagi sambil menatap tajam pada pemuda berkacamata itu.

Aksa menggeleng, dia tidak ingin harinya rusak karena mereka bertiga. Lebih baik dia menyanggupinya agar tidak terus diganggu.

"Isi jawabannya yang bener ya! Awas lo kalo banyak yang salah!" setelah mengucapkan kalimat itu Jordan langsung berbalik menuju kursinya yang berada di baris paling belakang.

Sekilas Aksa bisa mendengar jika mereka bertiga sedang menertawainya. Aksa terdiam sebelum mengambil bolpoinnya dan mulai mengisi jawaban, untung saja ini soal pilihan ganda. Dia bisa menyelesaikannya dengan cepat. Diam-diam Martin tersenyum puas melihatnya.

Ini adalah salah satu cara Martin menunjukkan pengaruhnya. Nanti setelah Arvino dan Dean lulus dari sini, SMA Harapan akan berada di bawah kendalinya. Membayangkannya saja sudah membuat Martin senang. Bisa dipastikan jika sekolah ini nanti akan lebih menyenangkan, terutama untuk murid seperti Aksa.

Sekali melihat saja Aksa bukan berada di level yang sama dengan mereka. Dia pasti murid penerima beasiswa yang beruntung karena mendapatkan belas kasihan dari pihak sekolah. Dia tidak pantas berada di sini. Begitulah pemikiran Martin dan teman-temannya.

Beberapa menit kemudian bel masuk berbunyi, kali ini Brian yang datang ke meja Aksa untuk mengambil buku milik mereka. Brian tersenyum ketika memeriksanya karena semua pekerjaan rumah mereka sudah selesai.

"Kerja bagus! Lo emang paling bisa diandelin!" Brian menepuk pundak Aksa dengan keras, dan sepertinya itu cukup menyakitkan.

Brian kembali ke bangkunya dan memberikan buku milik Martin dan Jordan.

"Kita bakal manfaatin si cupu itu terus, lumayan dah nilai gue jadi bagus." Jordan tersenyum lebar.

"Ya, selama dia berguna dan gue belum bosen." respon Martin cuek.

"Ya udah, nanti suruh dia kerjain tugas matematika kita juga!" usul Brian, "Rasanya kepala gue mau botak ngeliat rumus-rumus itu."

"Oke, nanti sepulang sekolah suruh dia bawa buku matematika kita." putus Martin diikuti sorakan senang kedua temannya.

.

.

.

Hari itu, Ardian sedang berbaik hati untuk menjemput Vino sepulang sekolah. Vino sih senang-senang saja meskipun dia tahu jika motif utama Ardian adalah mengambil hatinya agar dia tidak mengadu pada mama mereka tentang kelakuan Ardian selama ditinggal perjalanan bisnis ke luar negeri beberapa hari belakangan ini.

Ketika bel pulang berbunyi, Vino segera membereskan bukunya. Dean menoleh pada teman sebangkunya itu.

"Bang Ardian jadi jemput lo?"

Vino mengangguk, "Iya, nih dia chat kalau udah hampir sampai."

"Pasti sekalian mau pamer wajah ganteng," Dean menggelengkan kepalanya, Ardian itu sedikit narsis. Dia selalu merasa menjadi makhluk paling ganteng.

"Katanya sekalian nostalgia." Vino tertawa mengingat perkataan kakaknya semalam.

"Ya udah yuk, cabut. Gue udah laper. Mau langsung ke basecamp kan?"

"Bang Yasa udah pesenin kita makanan, nanti pas kita dateng bisa langsung makan."

"Yes, gue paling demen kalau langsung makan gini."

STRANGE LIGHTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang