23 - Vorfreude

755 68 6
                                        

7 bulan yang lalu...

"Sampai kapan lo mau kayak gini, Sa?"

Aksa masih diam, tatapan matanya kosong. Dia mengabaikan Arka yang berada di sampingnya, memandang Aksa dengan sorot mata yang juga penuh luka.

"Aksa, please jangan kayak gini. Gue nggak tau harus gimana kalau lo cuma diem aja." Arka bersimpuh di samping ranjang Aksa, dia menenggelamkan wajahnya ke bahu Aksa.

Semenjak sadar dari komanya sampai sekarang sudah diperbolehkan pulang ke rumah, Aksa lebih banyak diam. Pandangan matanya pun sering terlihat kosong. Entah apa yang sedang Aksa pikirkan, jiwanya seolah sedang tidak berada di sini.

"Gue nggak mau lo sakit lagi, jadi please ceritain apapun yang terjadi sama gue, Sa. Jangan nanggung semuanya sendiri, gue bakalan ngerasa nggak berguna kalau lo selalu nutupin semua luka lo dari gue. Setidaknya bagi sedikit luka sama beban lo ke gue." Arka benar-benar menangis sekarang. Isakannya memenuhi kamar Aksa yang didominasi warna monokrom itu.

Arka tahu jika sehari sebelum kecelakaan itu terjadi, Aksa sempat bertengkar dengan sang ayah. David bahkan sampai menampar Aksa. Yang Arka sesalkan adalah dia tidak berada di sana saat semua itu terjadi. Seharusnya Arka berada di sana dan melindungi Aksa dari kemarahan David. Jika dia berada di sana mungkin semua ini tidak akan terjadi.

Setelah terbangun dari koma, Aksa mengabaikan David. Dia hanya berbicara seperlunya saja, bahkan ketika David meminta maaf padanya Aksa hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah katapun. Arka bisa melihat sorot sedih dan kecewa di mata Aksa yang ditujukan untuk David.

Tangisan Arka terdengar semakin pilu ketika mengingat semua itu. Arka tahu jika keluarganya tidaklah sempurna seperti keluarga-keluarga lain pada umumnya, selama ini Arka mencoba bertahan dan selalu bersikap optimis. Aksa adalah alasan terbesar Arka untuk bertahan. Jika Arka tidak mempunyai Aksa, mungkin sudah lama Arka membunuh dirinya sendiri. Bagi Arka, Aksa seperti cahaya yang menerangi gelap dunianya.

Tangan Aksa kemudian bergerak perlahan untuk mengusap rambut Arka. Anak itu masih terisak, menumpahkan segala kesedihan yang selama ini dia simpan. Hati Aksa tergerak, mana tega dia melihat Arka menangis lama-lama.

"G-gue takut banget kalau lo pergi ninggalin gue sendirian di sini, Sa. Kalau nggak ada lo gue sama siapa?"

Arka terus bermonolog meskipun Aksa masih tidak meresponnya. Ada sesuatu yang masih mengganggu pikiran Aksa, dan Aksa pikir Arka juga harus mengetahui hal ini.

"Arka..." suara lirih Aksa terdengar.

"Y-ya?"

Arka mengangkat wajahnya yang memerah karena menangis. Dua pasang mata kelam milik mereka bertemu.

"Ada sesuatu yang lo harus tau," Aksa menghela nafas perlahan, dia mengepalkan tangannya. Perasaannya campur aduk sekarang, antara marah, sedih, kecewa, bahkan juga ada sedikit rasa bahagia di sana. Aksa tidak ingin memungkirinya.

"Soal apa?"

"Papa punya sebuah rahasia besar yang selama ini dia sembunyiin dari kita," suara Aksa terdengar bergetar saat mengucapkannya.

Kening Arka berkerut. Melihat ekspresi Aksa, Arka bisa mengetahui jika ini adalah hal yang serius.

"Rahasia apa emangnya?"

"Di malam saat kecelakaan itu terjadi, sebelumnya gue pergi ke ruang kerja papa. Tanpa sengaja gue jatuhin beberapa berkas di mejanya. Ada satu map yang isinya berceceran. Di sana ada sebuah hasil tes DNA."

Arka terlihat bingung, "Maksudnya? Lo mau bilang kalau kita ternyata bukan anak kandung papa gitu? Kayak di sinetron-sinetron kesukaan Lio?"

Aksa menggeleng, "Ini bukan soal kita berdua, Ka."

STRANGE LIGHTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang