29 - Quatervois

691 60 9
                                    

"Jadi jemput Bang Ardian?" Dean melirik Vino yang duduk di kursi penumpang sebelahnya.

Vino hanya mengangguk sekilas, sorot matanya terlihat sedih.

"Gimana ceritanya dia bisa sampai di rumahnya si kembar?" tanya Dean sambil menghidupkan mesin mobilnya.

"Ceritanya panjang, De," jawaban Vino itu lebih menyerupai seperti sebuah gumaman.

"Singkatnya aja lah,"

Vino menghela nafas panjang membuat Dean menatapnya prihatin. Sejak pagi tadi Vino terlihat lebih pendiam dari biasanya, seolah dia sedang mempunyai banyak beban pikiran.

"Semalem Mas Ardian mabuk-mabukan di Paradise, dan Aksa yang jemput dia,"

"Kenapa Aksa nggak anterin Bang Ardian pulang ke rumah lo aja?"

Vino menggeleng, "Semuanya jadi makin rumit."

"Gue pikir setelah insiden kabur kemarin masalahnya udah selesai."

"Gue harap juga gitu, tapi ternyata semuanya nggak sesederhana itu, De. Banyak hal yang baru terungkap, dan itu pasti nyakitin banget buat Mas Ardian,"

"Apa Bang Ardian masih sulit buat nerima Om David sebagai bokap kandungnya? Kalau itu gue, gue juga pasti bakalan sulit buat nerima ini semua. Semuanya terlalu tiba-tiba dan mengejutkan." oceh Dean.

Vino terdiam, dia masih belum bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di dalam keluarganya beberapa hari yang lalu itu. Dean mungkin akan bereaksi heboh jika mendengar semuanya.

"Lo sendiri gimana, Vin?"

"Emangnya kenapa sama gue?" Vino balik bertanya, dia menoleh kepada Dean yang fokus kepada jalanan di depan mereka.

"Apa lo baik-baik aja?" Dean beralih melirik Vino, sebenarnya dia juga mengkhawatirkan keadaan Vino. Dari luar Vino memang terlihat baik-baik saja, tapi Dean tidak bisa menebak isi hatinya. Arvino selalu pandai menyimpan perasaanya di balik senyuman lebarnya yang khas itu.

"Gue baik-baik aja, kok," Vino tersenyum tipis tetapi jawaban itu tidak membuat Dean puas.

"Vin, kalau lo ngerasa nggak baik-baik aja lo bisa bilang kalau lo nggak baik-baik aja. Jangan diam aja dan bersikap seolah lo setegar batu karang. Manusia itu rapuh, dan emang sewajarnya seperti itu."

Perkataan Dean itu membuat mata Vino memanas. Sebenarnya Vino juga merasa sedih, kecewa, dan takut. Dia takut jika pada akhirnya nanti dia yang akan ditinggalkan. Bahkan sekarang Ardian mulai terasa jauh dari jangkauannya.

"Untuk sekarang gue baik-baik aja kok, lo nggak perlu khawatirin soal itu," elak Vino.

"Lo itu aktor yang baik, Vin. Lo juga tau itu kan?" balas Dean sarkartis dan Vino memilih untuk tidak meresponnya.

Perjalanan itu selanjutnya diisi oleh keheningan sampai mereka berdua tiba di kediaman keluarga Mahendra. Begitu turun dari mobil, Vino dan Dean sudah disambut oleh Arka yang baru saja keluar dari dalam rumah bercat putih itu.

"Hai, Kak Vino, Kak Dean," sapa Arka dengan senyuman lebarnya, dia terlihat begitu senang. Entah karena alasan apa.

"Kenapa lo berdua tadi bolos sekolah?" tanya Dean, dia dan Vino mengikuti Arka untuk masuk ke dalam bangunan itu.

"Lagi males aja sih, sekolah ya gitu-gitu aja," jawab Arka sekenanya, membuat Dean ingin menjitak kepalanya.

"Mana Mas Ardian, Ka?" tanya Vino tidak sabar.

"Kak Ardian lagi di atas sama Aksa, kita bertiga tadi baru main ular tangga."

"Lo bertiga umur berapa sih masih main ular tangga," cibir Dean.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

STRANGE LIGHTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang