Sudah hampir satu bulan ini Ardian menjalankan sandiwaranya. Sejak dia diperbolehkan pulang dari rumah sakit, Ardian berpura-pura tidak mengetahui apapun. Di depan Isabel, Ardian akan bersikap seperti biasanya meskipun hatinya terasa remuk redam setiap kali melihat sang ibu.
Hanya Giandra sajalah yang mengetahui seluruh kisah ini. Ardian belum siap memberitahu anggota Platinum yang lain apalagi untuk membagi cerita ini kepada Vino, Aksa, dan Arka.
"Are you okay?" Giandra menghampiri Ardian yang sedang duduk di salah satu bangku besi panjang yang berderet di atas trotoar.
Pemuda berkulit putih pucat itu datang sambil membawa dua cup es teh yang baru saja dia beli di dekat sini. Giandra baru saja menyelesaikan kelasnya dan langsung pergi menemui Ardian yang sudah berada di sini sejak beberapa jam yang lalu. Dia merasa miris melihat Ardian yang tidak seceria biasanya itu.
"Gue oke," jawab Ardian, mencoba tersenyum.
Giandra menghempaskan tubuhnya di samping Ardian, dia lalu menyerahkan satu cup es teh yang dia bawa untuk Ardian.
"Thanks, Gi."
Giandra hanya menggumam sebagai jawaban. Mereka berdua lalu mengamati lalu lalang kendaraan di depan mereka. Sore ini cukup mendung dan mungkin sebentar lagi hujan akan turun, tapi setelah menyelesaikan jadwal kuliahnya siang tadi Ardian masih belum juga ingin beranjak dari tempat ini.
"Belakangan ini gue pengen menghilang, Gi."
Perkataan lirih Ardian itu membuat Giandra menoleh ke arahnya dengan pandangan tidak suka.
"Jangan ngomong sembarangan lo, Ardian!" tegur Giandra, nada suaranya meninggi.
Ardian tersenyum tipis namun sorot matanya nampak sedih.
"Gue tau kalau lo pasti ngerasa hancur banget tapi gue kenal lo sejak kita masih balita. Gue percaya kalau lo itu kuat, Ar. Lo pasti bisa ngehadapin ini semua."
"Awalnya gue pikir juga gitu, tapi ternyata gue nggak sekuat yang gue kira, Giandra."
"Mungkin ini udah saatnya buat lo nanya ke Tante Isabel atau lo juga bisa nanya ke Om David," Giandra lalu menghela nafas, "Tapi kayaknya lebih baik kalau lo dengerin cerita dari kedua sisi biar semuanya lebih jelas."
Mata Ardian menerawang, "Andai semuanya semudah itu."
"Terus mau lo gimana?"
"I just want to disappear, Gi."
"Lo ngomong gitu sekali lagi, gue beneran bakalan nonjok lo biar otak lo itu bisa dipakai lagi buat berpikir jernih. Ini semua bukan akhir, bukannya lo selalu pengen tau siapa bokap lo sebenernya?"
"Tapi pertengkaran mama sama Om David tempo hari itu juga berarti bahwa hubungan mereka nggak baik-baik aja. Dan gue jadi tau kalau gue pernah nggak diinginkan."
"Jangan ambil kesimpulan sepihak, cerita yang lo tau itu belum lengkap."
"Terus apalagi alasannya? Mungkin dulu bokap gue itu nggak pengen gue ada dan mama milih mertahanin gue. Itu cerita yang paling masuk akal kan?"
Ardian mengusap kasar wajahnya, kepalanya berdenyut hebat memikirkan semua ini. Mungkin memang lebih baik jika dia menghilang saja. Setidaknya jika Ardian menghilang semua masalah ini tidak akan merusak kewarasannya.
"Terus apa yang lo dapet kalau lo menghilang, hah? Lo nggak mikirin nyokap lo? Lo nggak mikirin Vino? Jangan lupa sekarang lo juga punya dua adik lagi!" cecar Giandra membuat Ardian hanya bisa terdiam.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
STRANGE LIGHTS
FanfictionKepindahan Aksana Mahendra ke SMA Harapan membuatnya terlibat dengan geng Platinum. Hidup Aksa yang semula terasa kelabu sedikit demi sedikit mulai lebih berwarna lagi. Tetapi bagaimana jika sebenarnya Aksa mempunyai sebuah tujuan tersembunyi di bal...