6 - Arcane

845 75 1
                                    

Keesokan harinya, Aksa masih beristirahat di basecamp Platinum. Setelah tahu jika Aksa tinggal sendirian di kota ini, Ardian memaksanya untuk tinggal di basecamp saja sampai dia benar-benar pulih. Dan sungguh, Aksa tidak bisa menolak perkataan Ardian yang lebih menyerupai perintah itu.

Di basecamp pagi ini hanya ada dirinya, Ardian, dan Giandra. Vino dan Dean pergi ke sekolah sedangkan Yasa dan Reyhan ada kelas pagi. Sebenarnya Aksa masih merasa canggung berada di sini, tapi di sisi lain dia juga mulai merasa nyaman karena anggota Platinum menerima kehadirannya dengan tangan terbuka.

"Aduh, kok lo demam lagi sih?" suara Ardian terdengar saat dia tanpa sengaja menyentuh lengan Aksa. Ardian menaruh susu coklat yang tadi dia buatkan untuk Aksa di atas meja dan terlihat sedikit panik.

Bagaimanapun keadaan Aksa masih jauh dari kata baik-baik saja. Lebam dari lukanya kemarin sekarang juga terlihat lebih jelas.

"Bawa ke rumah sakit lagi aja," usul Giandra sambil mendekat, dia tampak segar karena baru saja mandi.

Aksa menggeleng kuat, "Nggak usah Kak."

"Keras kepala banget sih bocah satu ini." Ardian geram bercampur gemas, mau marah tapi tidak tega melihat sorot mata Aksa yang memelas itu.

"Ya udah, gue panggilin Om Reza kesini aja." kata Giandra menengahi.

Tanpa menunggu persetujuan siapapun Giandra menelepon dokter pribadi keluarganya untuk datang ke basecamp Platinum.

Aksa masih ingin menolak namun dia tidak jadi membuka mulut karena sudah dihadiahi tatapan tajam oleh Ardian dan Giandra. Akhirnya dia hanya bisa berdiam diri, terlihat sedikit merajuk.

"Minum dulu susunya sambil nunggu pesenan buburnya datang. Lo harus sarapan sebelum diperiksa sama Om Reza nanti." titah Ardian.

Aksa mengangguk patuh, dia meraih gelas kaca itu dan meminum isinya perlahan. Rasanya hangat, dan entah kenapa hatinya juga sedikit menghangat. Diam-diam Aksa mengulas senyuman tipis.

"Lo boleh kok tinggal di sini selama yang lo mau, Sa." ucap Ardian lagi.

"Makasih ya Kak, udah ijinin saya tinggal di sini. Tapi kayaknya nanti saya harus pulang ke rumah."

"Terus bisa gak lo ngomongnya jangan seformal itu? Geli tau dengernya."

"Maaf, Kak Ardian. Saya cuma belum terbiasa."

Ardian menghela nafas, "Ya udah deh pelan-pelan aja dulu sampai lo terbiasa dengan kita. Nanti kita bakal anterin lo pulang, tapi tunggu dulu si Vino sama Dean. Mereka bisa ngamuk kalau nggak diajak."

"Gue ambil makanan dulu ya di depan," Giandra yang sedari tadi berdiam di sofa pojok beranjak dari duduknya, Ardian hanya mengangguk sebagai respon.

"Saya nggak mau ngerepotin lagi, nanti biar sopir saya aja yang jemput."

"Aksa, nggak ada yang direpotin kok. Bukannya ortu lo nggak tinggal di sini? Lo itu masih sakit. Daripada lo sendirian, gue rasa emang lebih baik lo tinggal dulu di sini sama kita. Setidaknya banyak orang di basecamp. Atau perlu gue kabarin ortu lo kalau lo lagi sakit? Kayaknya mereka harus tau soal ini."

"Jangan!" jawab Aksa cepat. Dia tidak mau jika sampai papanya tahu apa yang terjadi padanya sekarang.

"Kenapa?"

Sebenarnya Ardian sudah ingin menghubungi orangtua Aksa sejak kemarin namun Aksa mencegahnya. Anak itu mungkin tidak ingin orangtuanya tahu jika dia sedang terluka.

"Saya cuma nggak mau bikin mereka khawatir." hanya jawaban itu yang bisa Aksa beri.

Ardian baru saja akan membuka mulutnya lagi saat Giandra datang membawa bungkusan makanan. Dia memberikan satu bungkus bubur pada Aksa, memberikan sendok di tangan pemuda itu dan menyuruhnya untuk cepat makan hanya melalui tatapan mata. Aksa menurut, Giandra tersenyum. Bocah ini memang penurut, sedikit berbeda dengan duo pembuat onar si Dean dan Vino.

STRANGE LIGHTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang