45. Menghadapi Kejujuran Mereka

17 3 1
                                    


Happy Reading Fellas!

~♥~

E M P A T P U L U H L I M A

"Mama kenapa nyakitin diri sendiri, Ma?"

~♥~


Tiga minggu berlalu. Fabian saat ini sedang dalam perjalanan di koridor rumah sakit menuju ke salah satu ruang rawat. Ia sedang terburu-buru dengan perasaan lega yang membuncah. Bagaimana tidak? Ia mendapat kabar dari sang ayah bahwa mama kesayangannya sudah sadar dari tidur panjangnya.

Begitu sampai, Fabian mendobrak pintu ruang rawat Rania dengan keras. Beberapa hari yang lalu Rania di pindahkan ke ruang rawat VIP karena keadaannya yang mulai stabil. Fabian menghampiri ranjang sang mama yang terbaring dan mata terbuka. Adintara dan Vivina ada di samping brankar.

"Mama.." panggil Fabian lembut. Rania menoleh ke arah anak semata wayangnya dan tersenyum lembut.

"Bian, mama kangen," keluh Rania sambil sedikit membuka tangannya minta Fabian peluk. Fabian pun bergegas mendekati mamanya dan memeluknya erat.

"Mama jahat," rengek Fabian.

"Maaf ya, mama nggak--"

"Bian mau tahu semuanya, Mam," tegas Fabian memotong ucapan Rania dan melepas pelukan itu. Ketiga orang itu terkejut karena Fabian langsung menanyakan hal itu.

"Mama kamu baru sadar, Bian. Jangan memaksanya berpikir berat," ujar Adintara agar Fabian tidak buru-buru dalam masalah ini. Fabian terdiam mendengar ujaran Adintara.

"Kalau gitu, Bian tunggu sampai nanti malam. Bian rasa udah cukup 3 tahun ini kalian sembunyi dan menutup hal sebesar ini. Kecuali kalau kalian emang nggak pernah menganggap Bian anak kalian," jawab Fabian dengan tegas dan keluar meninggalkan ruangan itu.

Fabian bukan ingin melawan atau membebani kedua orang tuanya. Tapi dia rasa waktu tiga tahun sudah cukup untuk bungkam. Fabian tidak bisa lagi menunggu. Ia juga sudah cukup dewasa untuk memahami permasalahan yang menimpa keluarganya. Laki-laki itu punya sesuatu yang ia sendiri kesulitan untuk menjaganya dan menyelesaikannya sendiri. Ia harus mulai menyelesaikan semuanya satu persatu. Agar kedepan tak terjadi masalah yang lebih besar dari ini.

***

Malam pun datang. Fabian baru saja keluar dari ruang rawat Rania. Ia berjalan gontai menyusuri taman rumah sakit. Sesekali tertawa miris mengingat pembicaraan panjang bersama orang tuanya. Laki-laki itu terduduk di salah satu bangku di taman rumah sakit. Matanya kosong dan pikirnanya melayang.

"Fabian!" panggil seseorang dari kejauhan. Fabian tak menoleh karena mengenali suara itu. Orang yang memanggilnya lekas mendekatinya dan ikut duduk di sampingnya.

Sepertinya orang itu tak sendiri. Buktinya muncul laki-laki berkacamata yang berjalan santai di belakangnya. Yap, mereka Iqbal dan Galih. Teman Fabian yang datang untuk menemani laki-laki yang terlihat sedang sangat terpukul itu.

Fabian memang sempat memanggil mereka untuk datang. Karena bagaimana pun, ia tak bisa memendam semua ini sendiri. Ia butuh sandaran dan tempat untuk meluapkan semua perasaannya.

"Fab?" panggil Iqbal lagi.

Fabian tak menjawab justru terkekeh. Iqbal dan Galih saling lirik dan menatap Fabian khawatir. Sepertinya memang masalah Fabian kali ini sangat berat sampai membuatnya seperti ini.

"Semua ini rencana nyokap gue, Bal," lirih Fabian tak menyangka.

"Semua ini cuma skenario buatan nyokap gue!" sentak Fabian membuat Iqbal sontak menepuk pelan bahu sobatnya. Sementara Galih hanya diam menunggu cerita Fabian.

Game Over: THE WOLFGANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang