13. Terikat Dalam Ikat

76 8 1
                                    

Happy Reading Fellas!

~♥~

T I G A B E L A S

"Gue nggak mau lo terpaksa terima gue. Gue emang bego, tapi gue serius dan enggak main-main soal ini, Sha,"

~♥~

Fabian melangkah gontai memasuki bangunan rumahnya yang bisa dibilang besar. Walau tak sebesar rumah Felisha, keluarga Fabian bisa disebut setara dengan keluarga Felisha. Masih berseragam SMA Delapan Dua, Fabian berjalan masuk tanpa salam. Lelah seharian menuntut ilmu di sekolah. Kelas 12 benar-benar menguras tenaganya.

Tapi Fabian cukup senang. Masa remajanya tidak sia-sia. Banyak hal menarik yang sudah dilewatinya. Mulai dari persahabatan hingga cinta. Cinta? Kalau Felisha sih tidak yakin akan hal itu. Bukannya meledek, tapi itulah Fabian. Laki-laki yang tidak bisa ditebak.

Beberapa waktu lalu, Fabian menyelesaikan masalahnya dengan Felisha. Hanya karena kecemburuan Fabian dan keegoisan Felisha. Sudahlah, itu hal sepele. Fabian tak perlu memikirkan hal itu lagi bukan?

"Bian! Bisa kan masuk rumah ucap salam? Rumah ini juga punya aturan," sentak seorang pria paruh baya yang tengah duduk di depan televisi. Matanya menatap Fabian yang acuh.

"Maaf, tapi saya tidak peduli," jawabnya santai. Namun hal tersebut membuat pria paruh baya itu naik pitam. Bisa-bisanya Fabian bersikap tidak sopan pada orang tua? Anak itu juga terus melangkah tanpa memedulikan orang tua itu.

"Fabian jangan buat papa marah!" teriak orang yang menyebut dirinya 'papa'. Fabian pun berbalik dan menatap papanya datar. Sorot kebencian di mata Fabian lebih dalam.

"Sekali lagi maaf, Bapak Adintara yang terhormat. Kalau Bapak bisa tidak peduli pada keluarga saya, saya sendiri juga dapat tidak peduli pada aturan yang ada di tempat yang bapak sebut rumah ini," selesai mengatakannya Fabian pun meloyor pergi menuju kamarnya.

"FABIAN PAPA BELUM SELESAI BICARA SAMA KAMU!!!" teriak orang itu.

Fabian tidak mendengarkannya. Bukan bermaksud tidak sopan. Fabian hanya berusaha menghindari orang yang merusak harinya. Langkahnya terasa makin berat. Ia salah kalau pulang ke sini. Iya kan?

***

Laki-laki itu memutuskan pergi dari rumah setelah mandi. Ia pergi ke tempat teman-temannya berkumpul. Rumah Galih. Itulah tempat yang biasa ia kunjungi. Tempat ia meluapkan emosinya bersama sahabat-sahabatnya.

Fabian dan keempat laki-laki lainnya bersahabat sudah sejak lama. Dulu mereka tergabung dalam suatu kelas bimbingan belajar ketika di SMP. Di sanalah mereka memulai persahabatan mereka. Setiap hari berkumpul dan bersenang-senang. Dan rumah Galih adalah tempat yang mereka pilih untuk membuang semua emosi. Tempat membuang semua kesedihan yang ada. Di tempat itu mereka menjadi diri mereka sendiri.

Fabian kini tengah menikmati film hollywood di ruang tengah. Keempat kawannya juga berada di sana. Melihat mereka asyik dengan kegiatannya masing masing. Dito asyik menonton film itu bersama Fabian. Biasa, penikmat film itu tidak bisa menonton tanpa ngemil. Lihat di tangannya, satu cup popcorn dengan isi yang tinggal separuh. Laki-laki ini memiliki wajah manis dan sangat menyukai makanan lebih dari pada gerombolan gila makan, The Roacherz. Tapi itu malah menjadi nilai plus untuknya. Ia ramah dan baik. Sering mengajak orang makan bersamanya. Tipe laki-laki yang perhatian dan manis.

Lalu Iqbal dan Galih, mereka asyik bermain game di ponsel pribadi mereka masing-masing. Wajah serius berkacamata milik Galih sebenarnya dapat mengalihkan dunia para perempuan. Galih yang sangat pendiam ini adalah si jenius dari SMA Delapan Dua di angkatannya. Tingkahnya yang diam tapi ndugal[2], (kalau kata Fabian yaa^^) itu menarik bagi para guru. Bolos adalah kesehariannya dan teman-teman, tapi itu tidak membuat nilainya anjlok. Lihat saja rapornya, kalian akan menganga karena melihat banyaknya huruf A. Tapi demi solidaritas, ia tidak masuk ke kelas unggulan. Ia memilih sekelas dengan sahabat-sahabatnya.

Game Over: THE WOLFGANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang