Ursula baru saja menyelesaikan materi presentasi untuk ujian tugas akhirnya ketika Helena menelepon. "Sudah jam satu malam. Kapan anak ini akan tidur?" omel Ursula yang sedang meneliti jam tangannya.
"Halo?" sapa Ursula sambil menguap. Ia tempelkan telepon genggam di telinganya.
"Apakah kamu adalah kakaknya Helena?" tanya suara di telepon, menjawab sapaan Ursula. Suara gadis itu berlatar musik dan suara orang bersorak.
"Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan dengan telepon genggam Helena?" Ursula langsung hilang ngantuknya.
"Ck," decak suara di ujung satunya. "Helena mabuk parah setelah aku putus dengannya. Bisakah kamu menjemputnya?"
Patah hati lagi. Kapan Helena akan berhenti membuang dirinya untuk orang-orang yang tak bermutu? Pikir Ursula sebelum bicara, "Apa dia baik-baik saja?"
"Ya mana aku tahu. Dia kan sedang mabuk. Tolong jemput saja dia. Karena dia mulai bikin malu dan merayu semua laki-laki yang ada di sini. Aku kirim alamatnya sekarang."
Kemudian teleponnya ditutup. Sebentarnya sebuah pesan muncul. Lokasi Helena tercantum di sana. Ursula merenggangkan badannya, buru-buru ia menyetir mobilnya untuk menjemput Helena. Syukur pada jam sekian jalanan mulai sepi sehingga Ursula tak memerlukan banyak waktu untuk sampai ke alamat tersebut.
Tidak sulit menemukan rumah yang dimaksud oleh si penelepon yang mengaku mantan pacar Helena itu. Rumah tersebut ramai, dan berisik. Sudah pasti di sanalah tempat pestanya. Ursula turun dari mobil dan segera mencari Helena.
Ketika Ursula menemukan Helena, gadis itu sedang berada di sebuah kamar bersama seorang lelaki yang entah siapa. Ursula mengusir lelaki itu dan memapah Helena keluar.
"Ursula!" Helena memeluk Ursula sambil senyum-senyum. Jalannya sempoyongan sehingga mempersulit jalannya Ursula yang juga jadi sempoyongan. "Dari mana kamu tahu kalau aku di sini?" tanya Helena. "Apa Ibuku tahu?"
"Ibumu sudah tidur Helena. Sekarang ayo kita pulang dan tolong jangan berisik. Aku tak mau Pak Gourse dan Rebecca tahu kalau kamu minum-minum. Umurmu baru tujuh belas," omel Ursula sambil menyeret tubuh saudaranya.
Ursula tinggal di rumah keluarga Gourse sejak ibunya meninggal. Sejak ayah kandungnya semakin sibuk dengan bisnisnya dan kurang memberi Ursula perhatian, Rebecca mengajaknya tinggal di rumah Gourse. Tentu Pak Gourse senang, karena Helena jadi punya teman, putri tunggalnya punya saudara perempuan.
"Jangan berisik," bisik Ursula. Ia papah saudaranya naik ke lantai dua rumah Gourse.
Helena cekikikan sambil coba-coba berlari padahal kakinya sudah limbung. Ia berjalan di depan Ursula yang membawakan tasnya. Helena langsung masuk ke dalam kamar Ursula.
"Hei, tidur di kamarmu sendiri!" sergah Ursula. Namun, Helena tidak perduli. Ia melempar badannya ke atas ranjang Ursula. Sementara Ursula masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Tak lama, Helena muncul di kamar mandi dan membuat Ursula terperanjat. "Ursula," bisik Helena sambil memeluk saudaranya dari belakang.
"Ya?" jawab Ursula yang sedang menyeka wajahnya dengan handuk.
"Hm... Tak apa..." sahut Helena sambil tersenyum. Ia melepas pelukannya kemudian membuka bajunya satu per satu.
"Kalau kamu sudah belajar mabuk-mabukan di umur segini, kamu akan jadi pecandu di umur dua puluh dua." Ursula mengomel meski tahu apa yang ia lakukan sekarang adalah sia-sia.
Helena mendekati cermin kamar mandi Ursula dengan tubuh telanjangnya. Ia sudah terhuyung, namun masih berusaha memasang beberapa pose di depan cermin. "Menurutmu bagaimana tubuhku ini?"
Ursula menoleh untuk melihat Helena. "Bagus. Tubuhmu bagus. Mulus. Kamu cantik. Kamu punya mata hijau seperti Rebecca. Dan hidung mancungnya Pak Gourse. Itu namanya menang undian genetik," komentar Ursula.
"Tapi, percuma saja," desah Helena. Kepalanya tertunduk. "Percuma."
Suara Helena membuat Ursula merasa kasihan. Ia mengambil sehelai yukata dan menyelimuti tubuh Helena. "Mereka harusnya merasa sedih dan menyesal karena meninggalkanmu."
Helena mendengus, "Mereka tidak meninggalkanku. Aku yang tidak menyukai mereka. Mereka tahu itu. Makanya mereka memutuskanku. Mereka menolak jadi pelarian. Katanya aku tidak punya perasaan. Aku memaksakan diriku sendiri."
"Memangnya siapa yang kamu sukai?" tanya Ursula.
Helena menatap Ursula. Dengan yukata yang belum terikat talinya, ia menghadapi perempuan itu. "Itu tidak penting, karena dia tidak menyukaiku. Dia menyukai laki-laki. Dia normal dan dia tidak menyukai perempuan."
"Hm..." Ursula mengangguk-angguk. "Kamu hanya belum menemukan yang benar-benar tepat saja, Helena. Kamu masih muda."
"Itu masalahnya." Helena berjalan ke luar kamar mandi. Ursula mengikutinya dari belakang. Berdua mereka rebahan di atas kasur. Ursula mematikan lampu ruangan setelah memastikan Helena minum air yang cukup.
"Selamat tidur, Helena."
"Ujianmu besok?"
"Ya, ujianku besok. Jadi sekarang pejamkan matamu. Kalau tidak, kita berdua akan terlambat bangun besok." Ursula balik badan. Ia tersentak ketika Helena memeluknya dari belakang. "Kamu bau alkohol, Helena."
"Apa kamu akan membiarkanku kalau aku tidak bau alkohol?" tanya Helena.
Bulu kuduk Ursula berdiri semua ketika nafas Helena menyapu tengkuknya. Ia tahu kalau orang yang diceritakan Helena adalah dirinya. Ia tahu anak Rebecca menyukainya. Tapi Ursula tidak seperti itu. Ia sudah punya pacar, dan ia tidak pernah mau mengakui ketertarikannya pada perempuan.
Menyukai perempuan bukanlah hal yang wajar dan benar. Sekarang ia harus membalas perasaan Helena? Ursula pasti sudah gila. Yang ada dalam pikirannya hanyalah kehidupan normal. Ia ingin menjadi seorang guru. Setelah ini ia harus segera mendaftar kuliah pascasarjana. Ia akan membuktikan pada ayahnya kalau ia bisa mendapatkan apa yang ia mau tanpa uang ayahnya. Ursula tak mau menjadi pewaris bisnis keluarga tanpa benar-benar berusaha jadi apa yang ia mau lebih dahulu. Ursula akan menjadi dosen. Ursula tak punya waktu untuk hubungan terlarang macam ini.
"Aku harus tidur, Helena. Aku akan ujian besok," pinta Ursula. Kemudian ia menunggu tanggapan Helena.
Namun, gadis itu sudah tak ada suaranya. Helena sudah tidur. Ursula kehilangan rasa ngantuknya begitu saja. Ia merubah posisi tidurnya. Ia mendorong tubuh Helena sehingga gadis itu tidur dalam posisi terlentang.
Yukata yang dipakai Helena belum juga terikat. Helaiannya terbuka di beberapa bagian tubuh. Dada Helena menyembul dari sana. Ujungnya mengintip seolah sedang malu-malu pada keberadaan Ursula.
Ursula menelan ludah. Ia tak bisa mengalihkan matanya dari pemandangan itu. Pada tubuh Helena yang ranum. Pada kulitnya yang cerah dan terawat. Pada ceruk lehernya, pada dagu dan bibirnya. Pada bulu matanya yang bergerak-gerak. Ursula menahan nafasnya.
Ia membayangkan jarinya menari di permukaan tubuh itu. Bagaimana rasanya bibir Helena? Apakah empuk? Apakah elastis? Bagaimana jika Ursula mencium lehernya? Apakah garis bibir mereka akan cocok jika disatukan? Siapa yang akan menghisap? Siapa yang akan menggigit?
Apa gumpalan itu cukup sensitif? Apakah Helena akan lebih agresif? Atau Helena akan menunggu di bawah dan lebih senang ditindih? Bagaimana rasanya jika Helena menindihnya? Apa Helena bisa membuatnya terbang bebas? Karena Ursula yakin kalau ia bisa membuat Helena puas.
Tidak. Ursula tidak boleh menyerah pada instingnya. Ia tak akan membiarkan tembok dalam dirinya roboh. Helena adalah saudaranya. Dan Rebecca sudah merawat Ursula selama ini setelah kematian ibunya.
Ursula yang frustasi lalu berjingkat ke kamar mandi. Ia pandangi wajahnya di cermin. Tangannya membelai pangkal pahanya yang entah sudah sejak kapan menjadi lembab. Kemudian Ursula mengutuk dirinya sendiri. Ia menyalakan air dan menghukum dirinya sendiri sampai pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
2. Microscopic Lust GXG (END)
Romance18+ "Cinta segitiga itu tidak ada, Santi. Yang ada hanya rasa angkuh untuk membagi!" -Octava Gourse- Octava adalah seorang gadis berusia 22 tahun. Pernikahan kedua sang ibu dengan seorang miliader bernama Gourse membuat gadis itu harus tinggal serum...