27

98 10 0
                                    

Sudah lima kali Ursula membenahi letak tiap juntai rambut gimbalnya yang sudah sepanjang pinggang. Ia merapikan setiap helai dengan setangkai jarum renda ukuran kecil. Kemudian setelah merasa cukup, Ursula menggulungnya ke atas.

Namun, nampaknya wanita itu belum puas juga. Ia lepaskan lagi gulungan itu, kemudian mengulang setiap langkah dari awal. Tak lupa ia menciumi tiap juntainya. Sambil memastikan kalau gimbalnya masih sama harumnya seperti hari-hari yang lain. Ia ingin terlihat baik. Ia ingin terlihat sesempurna standar manusia, sebab saat ini sudah terlanjur memarkir mobil di depan toko milik Rebecca.

Dari kemudi, ia lihat Rebecca menyongsong kedatangannya. Wanita itu membuka pintu rukonya, melambaikan tangan pada Ursula sehingga sekarang wanita itu sudah tak bisa berubah pikiran dan melarikan diri lagi. Selendang penuh motif abstrak yang tergantung di lehernya seperti ikut menari-nari karena semangatnya.

Ursula menarik nafas. Kemudian keluar dari persembunyiannya.

Rebecca tersenyum sudah dari jauh. Begitu sampai dekat mobil ia berdiri di hadapan Ursula. "Aku sudah mencium wangi rambutmu dari dalam toko. Makanya aku tahu kalau kamu akan datang. Mau minum teh?"

"Kopi saja," jawab Ursula menyembunyikan sikapnya yang kikuk. Ia ikuti Rebecca dari belakang dan memasuki gedung yayasan non-profit itu.

"Aku tidak punya kopi di sini, tapi tunggu, sebentar." Rebecca masuk ke belakang meja resepsionis. "Helena! Belikan aku kopi!" teriaknya.

"Ma, aku sedang sibuk!" Helena menyahut dengan suara yang lebih keras dari ibunya itu.

Ursula sudah tahu. Kalau Helena pasti bersembunyi di sini. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum dengan tingkah laku dua perempuan di depannya.

"Oh, Gourse terlalu memanjakan Helena sampai ia tidak menurut padaku lagi. Aku akan membelikanmu kopi. Bisakah kamu menjaga toko sebentar, Ursula?"

"Kukira ini yayasan non-profit. Rupanya sekarang sudah jadi sebuah toko." Ursula menyindir.

"Ini tetap jadi non-profit, kalau orang-orang sepertimu tidak datang dan minta kopi padahal di sini hanya punya teh," sahut Rebecca sambil berlalu.

"Aduh, menyakitkan sekali." Ursula memijat dadanya dengan sengaja. Seolah kata-kata Rebecca menancap langsung di jantungnya.

Rebecca meninggalkan toko. Kesempatan bagus bagi Ursula. Ia langsung mencari Helena ke ruang belakang.

Di dalam sana, Helena—gadis yang ia cari sedang duduk di samping jendela sambil membaca. Di sebelahnya terdapat sebuah asbak berbentuk bundar dengan puntung rokok tak bermerk yang sudah menggunung.

Ursula geleng-geleng kepala melihat tingkah Helena. "Sudah kubilang, tempat ini tak bagus untuk seorang pecandu," komentar Ursula sambil mendekat pada gadis itu.

"Siapa yang menyuruh kamu datang ke sini?" tanya Helena tanpa menoleh.

"Aku datang sendiri, dengan keinginanku sendiri," jawab Ursula.

"Kamu akan menyuruhku pulang? Apa yang dikatakan Octava padamu?"

"Octava tidak tahu aku datang ke sini. Dan aku tidak akan menyuruh kamu pulang." Ursula duduk di samping Helena. Ia pandangi wajah gadis itu. Belum pernah Ursula merasa rindu seperti ini. "Aku hanya ingin tahu keadaanmu."

"Jangan dekat-dekat. Ibuku ada di sini." Helena menggeser posisi duduknya. Ia belum berani menoleh pada Ursula.

"Ibumu sedang beli kopi ke luar." Ursula memandangi mantan kekasihnya. Dari matanya memancar rindu.

Helena merasakan rindu itu menghangatkan kulitnya. Ia bergerak gelisah. "Aku sudah tahu itu pasti kamu."

"Salahmu selalu ngambek dan pergi ke tempat yang sama." Ursula berusaha menghibur.

2. Microscopic Lust GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang