Octava memandang lawan bicaranya lekat-lekat. Ia menjaga nafasnya yang mulai memburu. Ia menjaga dirinya agar tidak sampai melakukan hal di luar yang seharusnya. Bahwa hpercintaannya dan Ursula, mantan dosennya itu sudah selesai. Dan sekarang Ursula membantunya hanya sebagai seorang teman. Hanya sebagai pacarnya Helena. Namun, Ursula dan aroma vanili yang mencuat lembut dari rambut gimbalnya yang indah membuat Octava tidak betah. Gadis itu menggigit bibirnya sebelum memutuskan untuk memikirkan konsekuensinya lain waktu saja.
"Cium aku, Ursula," pinta Octava.
Ursula menmbasahi bibirnya, pelan-pelan senyum itu tumbuh di bibirnya. Ia menggamit dagu Octava dan menariknya mendekat. "Helena akan segera datang. Apa kita harus menundanya, atau kita harus tenggelam dalam luka yang sama? Aku tidak bisa kehilangan Helena lagi, dan aku pun tak sanggup kalau harus membuatmu kecewa."
Octava langsung tahu diri. Ia menarik tubuhnya. Ia ingin menjauh. Meski niat itu hanya ada di kepalanya. Tubuhnya tak bergerak sejengkal pun. Malah, kini nafas mereka selang-seling menyapu wajah. "Kalau begitu, aku memilih jadi teman saja. Dengan begitu aku bisa selalu ada di antara kalian. Rasanya melihat kalian berdua baik-baik saja sudah cukup bagiku," bisik Octava. Ia menyembunyikan jeritan sakit untuk dirinya sendiri. Ia memang tak tahu diri! Ia menginginkan dua wanita itu!
Maka mereka tetap berjaga pada dinding yang transparan itu. Mereka saling memandang dan menikmati rasa gigil dan getir akibat kisah yang telah selesai. Hingga suara Helena membangunkan akal mereka dan menyeret mereka kembali pada dunia nyata milik manusia.
"Hei, apa kalian sedang di balkon? Apa kalian bisa turun dan membantuku sebentar saja?" Helena berteriak dari teras depan rumah. Wanita itu tidak berani naik. Helena tak yakin kalau apa yang sedang dilakukan Octava dan Ursula di lantai dua dapat membuatnya merasa sakit hati atau tidak. Tentu, Helena tak ingin menyesali keputusannya untuk menyuruh Octava tinggal sementara di sini. Kasihan Octava. Jadi, Helenalah yang harus mulai terbiasa dengan keadaan dan kenyataan di antara ketiganya.
Tidak lama Ursula muncul dari tangga, Octava mengikuti di belakangnya. Semuanya masih berpakaian rapi dan lengkap. Rambut Octava masih sama hitam dan lurusnya. Sedang Ursula, lipstiknya masih terlukis cantic di bibirnya. Helena boleh bernafas lega sebab mereka tidak berbuat apa-apa.
"Ada apa, Sayang?" tanya Ursula setelah mencium pipi Helena. Octava juga melakukan hal yang sama.
Beberapa detik Helena terdiam dan terjun bebas dalam dunianya sendiri. Alangkah menyenangkan jika setiap kali ia pulang bekerja ada dua wanita yang ia cintai menyambutnya.
"Helena?" Octava menjentikkan jarinya di depan sepasang mata hijau itu.
Helena menelan ludah. "Di mobil, bawa semua barang ke dalam sini."
Ursula dan Octava bergegas mengerubungi mobil. Penasaran pada apa yang di bawa Helena sehingga harus minta tolong mereka.
"Ada tiga lusin bir, dua botol vodka dan seslop rokok. Apa ini hari ulang tahun Octava?" Ursula kebingungan. Karena ia tahu Helena dan dirinya hanya minum yang seperti ini jika akan merayakan sesuatu.
"Ini obat galau anak muda," jawab Helena dengan nada yang ceria. "Octava sudah terlalu muak dengan masalah dan kita akan menemaninya lupa sebentar."
Octava dan Ursula saling pandang.
Helena mengangkat bahu. "Ya, masalah tak akan selesai dengan minuman keras," ungkap Ursula, mengulang slogan keluarga Gourse.
Helena melanjutkan sisanya, "Setidaknya kita bisa bangun dengan kepala yang lebih jernih."
Octava tertawa. "Minuman sebanyak ini, kita tidak akan bangun dengan kepala jernih." Perempuan itu membawa minuman-minuman itu ke dalam rumah.
"Boleh kusimpan satu untuk mencuci gimbalku?" Ursula menggenggam sebotol bir dan menyimpannya di lemari dapur.
"Tentu saja, sesekali kita hanya perlu istirahat dan tidak perduli." Helena menepuk pundak Octava.
"Dan?" Octava ragu.
"Dan, kita lebih baik mulai bersenang-senang sekarang!" Ursula bertepuk tangan untuk memeriahkan suasana.
Dua jam pertama mereka habiskan untuk menengarkan musik dan berkaraoke. Kemudian setelah tenggorokan mereka perih, tiga perempuan itu memutuskan untuk bermain kartu remi. Octava yang tidak terlatih sebagai pemain kartu mulai mengeluh karena kalah terus. Akhirnya, Ursula dan Helena berbaik hati. Mereka menyudahi permainan itu ketika waktu makan malam tiba. Ursula memesan dua Loyang pizza ukuran besar. Dan singkatnya, dalam empat jam, mereka sudah duduk tenang di lantai dengan kantong mata yang tebal, hidung basah dan pikiran mengawang.
"Terimakasih sudah menghiburku." Octava bicara dengan nada suara yang lambat dan terdengar malas.
"Jangan sungkan, Octava, Sekarang, Ursula tolong tuang minuman untukku!" Helena mengulurkan sloki miliknya.
Dengan sigap, Ursula menuang vodka pada sloki kekasihnya. "Tunggu!" sergah Ursula. Membuat Octava dan Helena menoleh dalam gerakan lambat.
"Mari kita bikin ini jadi menarik." Ursula memerciki lengan Octava dengan garam.
Octava menjerit karena kaget. Sedang Helena tertawa cekikikan. Ia meneguk vodka dari slokinya kemudian menjilat lengan Octava.
Octava menarik tangannya karena geli. "Sekarang kamu!" tunjuk Octava pada Helena. Ia merampas wadah garam dari tangan Ursula dan mengoleskannya ke leher Helena. Lalu Octava mengambil sloki Ursula. Dan gadis itu menuang vodka sampai tumpah.
"Kamu mabuk, Octava," ucap Ursula. Ia menjilat jarinya yang terkena tumpahan minuman.
"Salah. Aku tidak mabuk! Aku sedang bersenang-senang." Octava mendongak. Lalu ia diam, ia berpikir sebentar. Kemudian ia mengangguk. "Ya, mungkin aku sudah mabuk."
Lalu mereka bertiga tertawa-tawa.
Ursula menyesap slokinya sampai kosong, kemudian menempelkan bibirnya ke leher Helena membuat pipi Helena jadi semakin merah warnanya. Mereka berciuman sebentar. Lalu Helena mendorong Ursula.
"Sekarang kamu anak kecil!" Helena membungkuk, mengambil sloki Octava dan menuang Vodka untuk gadis itu. "Berapa umurmu, nak?" tanya Helena sambal meniru aksen Pak Gourse.
Octava menahan tawa. "Eh, dua puluh dua, Pak." Octava menerima sloki itu. Ia sipitkan mata agar bisa fokus pada letak garam yang dibubuhkan Helena di bagian tubuh Ursula.
Tapi Helena dan Ursula tiba-tiba berhenti bicara. Wajah mereka berubah serius dan memancing pertanyaan dalam kepala Octava yang sudah tidak sehat.
"Di mana garamnya?" Octava menjinjing slokinya yang sudah kosong dengan telunjuk dan ibu jari.
"Di sini..." sahut Ursula sambal memaksa Octava minum dari slokinya. Kemudian wanita itu mencium mantan kekasihnya.
Kemudian apa yang terjadi selanjutlah sangatlah mudah untuk ditebak. Sebelum ciuman Ursula dan Octava itu selesai, Helena sudah menyingkirnya semua benda di depannya. Ia memeluk Octava dari belakang dan menciumi tengkuknya.
Octava merespon tindakan Helena dengan desau. Sementara Ursula, ia tidak terlihat keberatan sama sekali. Sesekali matanya beradu dengan milik Helena. Mereka tidak menggumamkan protes. Malah, Ursula membelai pipi wanita bermata hijau itu.
Dengan tingkah yang lembut dan penuh perasaan, mereka melucuti pakaian satu persatu. Octava menoleh beberapa kali untuk menciumi Helena. Ursula membantu Helena melepaskan semua baju yang ia kenakan.
Sampai di saat mereka tidak mampu menahan diri lagi, Helena pelan-pelan berdiri. Ia tuntun Octava dan Ursula ke dalam kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
2. Microscopic Lust GXG (END)
Romansa18+ "Cinta segitiga itu tidak ada, Santi. Yang ada hanya rasa angkuh untuk membagi!" -Octava Gourse- Octava adalah seorang gadis berusia 22 tahun. Pernikahan kedua sang ibu dengan seorang miliader bernama Gourse membuat gadis itu harus tinggal serum...