21

164 17 1
                                    

"Sepertinya, Tuhan tidak menginginkan aku untuk bisa sedikit beristirahat—setidaknya, biarkan aku menghela nafas lega selama beberapa saat saja."

Tapi memangnya ia masih memiliki kepercayaan pada keberadaan yang terasa semu baginya itu?

Beomgyu menegakkan tubuhnya. Iris gelap miliknya menatap sekitar, tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan untuk tempat bersembunyi. Kalaupun ada, kemungkinan hanya hitungan beberapa menit ia akan langsung ketahuan, bahkan sebelum sempat bersembunyi dengan benar. Artinya bersembunyi pun percuma, dan berusaha melarikan diri akan jauh lebih sia-sia. Pintu gudang ini hanya ada satu. Kalau wanita itu datang bersama dengan orang-orang yang tadi memukulinya, akses menuju keluar jelas akan tertutup rapat.

Benar, ia hanya perlu menunggu sebenarnya.

Pemuda berambut keabuan itu kembali memposisikan kedua tangannya di balik punggung, bersikap seolah ia masih terikat. Tali yang tadi mengikat pergelangan tangannya ia genggam erat. Ia menarik nafasnya perlahan, lalu menghembuskannya dengan sedikit berat. Tidak ada cara lain selain mengandalkan dirinya sendiri untuk selamat. Mengharapkan pertolongan seseorang saat ini rasanya jadi terdengar naif sekali. Lagipula ia bukan siapa-siapa. Apa yang diharapkannya?

Jantungnya berdebar semakin kencang ketika didengarnya pintu gudang kembali tertutup, dan suara sepatu yang beradu dengan lantai beton mengalun di tengah kesunyian. Genggamannya pada tali dengan permukaan kasar itu semakin erat, mengabaikan rasa sakit dari luka yang masih basah oleh darahnya.

Beomgyu menoleh, hanya untuk mendapati bahwa wanita itu muncul seorang diri. Orang-orang yang tadi menghajarnya tidak ada. Tatapan matanya yang tajam tepat mengarah pada dirinya, seolah menelanjanginya hingga rasanya ia tidak ingin beradu pandang dengannya.

Tidak, ia tidak takut. Tapi, apa ya... ia hanya tidak ingin melihatnya. Itu saja. Berbeda dengan tatapan Soobin yang terasa mendominasi dan begitu mengintimidasinya, ia hanya merasa tidak sanggup saja untuk melihat tatapan wanita ini.

Langkah kakinya kembali terdengar. Suara dari highheels berwarna hitam yang beradu dengan lantai gudang terdengar begitu nyaring di telinga. Mau tidak mau perhatian Beomgyu kembali teralih padanya, yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya. Memandangnya dengan pandangan yang merendahkan.

Beomgyu nyaris saja ingin mengeluarkan tawanya, kalau saja ia tidak ingat bahwa luka di sudut bibirnya masih belum kering sepenuhnya. Lagipula ia belum ingin mencari masalah. Satu-satunya hal yang harus dilakukannya kini hanyalah mengamati. Apa yang akan dilakukan olehnya setelah itu bisa ditentukan nanti, tergantung dari hasil pengamatannya.

Ngomong-ngomong, ia jadi teringat sesuatu. Dulu sekali, ketika ia kabur dari tempat yang seharusnya menjadi rumahnya, bukankah wanita ini terlihat tidak waras?

Emosinya waktu itu terlihat meledak-ledak, dan selalu ia yang menjadi pelampiasannya. Kenapa sekarang, dibandingkan terlihat seperti wanita tidak waras, dia justru lebih terlihat seperti seorang penjahat yang tengah memperhatikan dengan seksama apa yang akan dilakukan oleh buruannya?

Yang dulu itu topengnya, atau justru yang ada di hadapannya inilah wajah aslinya?

Yang manapun tidak ada bedanya. Menurutnya, kedua versi dari wanita ini sama gilanya. Terdengar lucu sekali bukan?

Beomgyu menggigit pipi bagian dalamnya, tidak mengizinkan sedikitpun suara keluar dari mulutnya. Salah sedikit, ia yang akan kena masalah. Jika beruntung, dan Tuhan masih memberkatinya, ia mungkin akan menemukan jalan untuk lari dari tempat ini.

"Nak..."

Suara itu mengalun dengan merdunya, walau baginya terdengar seperti racun yang sedang menjeratnya, menunggunya untuk lengah, lalu ia akan mati.

FREIER VOGEL || SooGyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang