03

733 69 4
                                    

Iris gelapnya terpaku pada satu objek. Seorang anak kecil, mungkin sekitar tujuh atau delapan tahun. Tatapan matanya kosong, bahkan ketika beberapa orang yang sedikit lebih dewasa darinya memukuli dan menendang seluruh bagian tubuhnya hingga ia terkapar di jalanan. Alih-alih berteriak kesakitan ataupun meminta pertolongan, mulutnya terkatup rapat.

Tidak, bahkan kalaupun bocah itu berteriak hingga pita suaranya putus, ia bahkan ragu ada dari sekian banyaknya pejalan kaki di dekatnya akan menolongnya. Bagi mereka, ia seperti tidak ada, lainnya mungkin menganggapnya sampah. Menjijikkan, dan tidak layak hidup.

—atau bisa jadi, di antara sepersekian orang-orang tersebut ada yang justru merasa terhibur dengan tontonan gratis memalukan.

Choi Soobin cukup mengerti akan hal itu. Dalam beberapa kondisi, terkadang ia seperti itu. Menikmati segala hal yang mungkin menurut sebagian besar orang adalah hal yang mengerikan.

Pembunuhan. Pembantaian. Atau sejenisnya.

Perkelahian satu pihak seperti yang terjadi di depannya malah terkesan biasa saja.

Kecuali... ya, kecuali bocah itu.

Wajahnya tidak menyiratkan rasa sakit. Alih-alih hal tersebut, ia hanya diam. Dijadikan bulan-bulanan layaknya satu karung sampah yang tidak berarti, teronggok hingga orang-orang lambat laun akan mengabaikannya. Atau memang itu tujuannya? Toh kalaupun melawan,bukan tidak mungkin itu hanya akan mempercepat dirinya melakukan perjalanan menghadap Tuhan.

Mati mungkin lebih bisa jadi pilihan, sebenarnya.

Ia tersenyum miring. Iris gelapnya masih terpaku pada objek yang sama. Bocah itu menarik. Tidak seperti gelandangan di pinggiran kota yang seperti menanti nasib, mati atau bertahan hidup dengan nasib menggantung. Ia bahkan tidak yakin kalau bocah itu hanya sekedar gelandangan.

“Yeonjun-hyung…”

Laki-laki di balik kemudi itu menoleh, sebenarnya tidak habis pikir untuk apa menghentikan laju mobil di tempat kumuh semacam ini. Aroma busuk menguar dimana-mana, bercampur hingga rasanya jadi sangat memuakkan. Ia butuh rokoknya sekarang.

“Bawa anak itu padaku.”

Kalimat itu singkat, dan jelas. Tapi butuh waktu baginya untuk bisa mencernanya, khawatir ia salah dengar, tapi tidak, pendengarannya masih berfungsi dengan sangat baik. Selain daripada keributan beberapa meter di depannya, tidak ada apapun lagi. Jadi, antara pendengarannya yang buruk atau orang ini yang kurang waras.

“Kau gila?”

“Hidupku sudah penuh kegilaan, mengurangi kadar kewarasanku tidak akan berpengaruh apapun kan?”

Choi Soobin dan mulutnya yang terkadang jauh lebih menyebalkan daripada nenek-nenek cerewet yang mengomel masalah sopan santun anak muda.

Kalau tidak ingat bocah ini adalah pimpinannya, satu-dua peluru rasanya cukup untuk menyalurkan rasa kesalnya.

.
.

Beomgyu mengeratkan genggaman tangannya pada tali tas selempang yang tersampir. Di antara banyaknya waktu yang tersedia di waktu-waktu ke depan, kenapa harus sekarang? Hari ini? Di jam yang ini? Tidakkah, takdir sesekali merasa bosan mengusik kehidupan tenangnya yang walau monoton tanpa arti, setidaknya ia cukup menikmatinya.

Ia mendengus geli. Sejak awal takdir memang tidak pernah ada di pihaknya. Bahkan kalaupun ia menerima kebaikan, balasannya terkadang jauh lebih menyakitkan. Seperti sekarang—dan dulu.

FREIER VOGEL || SooGyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang