14

525 51 13
                                    

Iris gelapnya menatap kosong ke depan. Kedua tangannya terkulai di atas pangkuan. Kamar itu hanya ditempati oleh satu orang, tapi bahkan hawa keberadaannya tidak terasa sama sekali.

Pengunjung rumah sakit kala itu mulai berkurang. Malam sudah mulai menjelang, dan lorong sisi barat seakan tidak berpenghuni. Perawat yang sejak tadi pagi berjalan berkeliling memeriksa pasien sudah tidak nampak keberadaannya.

Seokjin menatap pemuda di atas ranjang rumah sakit dengan tatapan miris. Ia hidup, tapi di sisi lain ia sudah mati. Jiwanya telah lama pergi, dan ia takut kalau pemuda yang sudah seperti adiknya ini tidak akan pernah kembali lagi.

“Sampai kapan kau akan seperti ini?”

Laki-laki bersurai hitam itu menggenggam tangan yang lebih muda perlahan. Hangat, tapi di lain sisi ia juga terasa dingin. Tidak ada pergerakan berarti, hanya deru nafas yang terdengar teratur. Anak yang dulu selalu mengganggu dan mengikutinya kemanapun kini tergantikan oleh sosok berwajah pucat dengan tatapan kosong. Ia seperti mayat hidup, tetap bernafas, makan atau apapun yang diminta oleh para perawat itu, tapi jiwanya tidak ada lagi. Ia hanya raga kosong, tanpa jiwa, tanpa emosi, tanpa apapun yang tertinggal.

Semuanya telah dibawa pergi. Kala itu, hari dimana segalanya berakhir.

Seokjin ingin menertawakan diri rasanya. Ia sudah gagal sejujurnya, dengan hidupnya dan dengan hidup kedua adika laki-lakinya. Adik bungsunya pergi, menghilang dan ketika bertemu lagi, tidak ada lagi yang tersisa. Anak itu sudah berubah menjadi seseorang yang tidak pernah ia kenal sama sekali.

Satunya lagi, adik pertamanya. Ia benar-benar menghilang. Tidak akan kembali ke hadapannya. Anak itu baik sekali, walau terkadang tingkahnya sedikit absurd. Sayang sekali kehidupan bersikap terlalu kejam untuknya—atau justru Tuhan yang terlalu menyayanginya hingga ia dibawa kembali ke pangkuannya.

“Aku sudah gagal dengan Yeonjun dan juga Taehyung, tolong jangan kau juga… Jungkook-ah…”

Raga bernama Jeon Jungkook itu hanyalah kosong, jiwanya telah lama pergi bersama dengan kepergian Kim Taehyung. Seokjin tahu itu, harapannya, segala yang diinginkannya, selamanya akan selalu menjadi mimpi yang hampa.

.
.


Mobil berhenti di pelataran sebuah hotel. Gedung pencakar langit itu menjulang di tengah langit senja yang keunguan, dengan segaris jingga yang masih tertinggal.

Beomgyu menggigit bibirnya. Ia ragu, dan bingung sejujurnya. Apa tujuan mereka ke tempat ini? Jamuan makan malam? Lalu apa hubungannya dengannya?

Hotel ini bukan tempat dimana sembarang orang bisa keluar-masuk seenaknya. Sekilas lihat saja ia tahu itu. Rangkaian pemeriksaan di gerbang yang bahkan membutuhkan waktu nyaris lima belas menit tadi jelas salah satu buktinya.

Soobin hanya menyuruhnya untuk mendampinginya. Laki-laki itu tidak mengatakan apapun soal tujuan mereka. Dan Beomgyu memilih untuk tidak menanyakannya. Ia, masih takut. Pada Soobin, pada dirinya sendiri dan pada apa yang menantinya di dalam sana.

Jung Jaehyun… rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku mendengar nama itu…

Sang supir bergegas turun, dalam diam dan sikap yang tenang, ia membukakan pintu untuk Soobin. Laki-laki itu turun dari mobil, lalu berbalik dan menatap ke arahnya. Beomgyu mengerjapkan kedua matanya, ia sungguhan bingung. Lagipula bagaimana seharusnya ia bersikap di tempat yang bahkan hanya bisa ia bayangkan lewat foto saja.

“Kemarilah.”

Soobin mengulurkan tangan kanannya. Dan Beomgyu yang masih menatapnya ragu, perlahan menyambut uluran tangan itu.

FREIER VOGEL || SooGyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang