29 (END)

298 15 0
                                    

Beomgyu melangkah masuk ke dalam kamar asrama yang ditinggalkannya selama satu minggu kemarin. Ia tersenyum tipis ketika dilihatnya kondisinya tidak banyak berubah. Hyunjin menuruti perkataannya untuk tidak melakukan apapun yang kemungkinan bisa membuat kacau.

Hyunjin berjalan mengikuti di belakang. Tanpa disadari oleh Beomgyu, pemuda itu mengunci pintu kamar mereka. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan olehnya hanya berdua dengannya. Tanpa gangguan apapun. Karena entah bagaimana, intuisinya mengatakan bahwa selepas pergi dari tempat ini, mereka tidak akan bertemu lagi.

"Beomgyu?"

"Katakan saja. Aku mendengarmu."

Beomgyu membuka lemari pakaian miliknya, mengambil sebuah tas selempang besar di bagian bawah. Barang-barangnya tidak terlalu banyak, satu tas itu saja sudah cukup untuk membawa semua barangnya. Ia mulai memasukkan barang-barang miliknya, pakaian, tumpukan buku, laptop dan beberapa benda kecil lainnya ke dalam tas.

"Di hari kau menghilang, aku sempat mengirim pesan padamu kan?"

Tentu saja ia ingat, pesan peringatan yang sebenarnya tidak banyak berguna, tapi ia salut pada Hyunjin. Intuisi orang ini cukup tajam, kalaupun tidak masuk kepolisian ataupun menjadi pengacara, Hyunjin mungkin akan menjadi detektif yang handal. Tapi jalan hidup teman sekamarnya itu telah ditentukan sejak awal oleh sang ayah, yang mengaturnya seperti ia hanya sebuah boneka. Sama seperti kakak laki-lakinya yang masuk kepolisian karena ayah mereka yang menginginkannya, padahal dari apa yang pernah didengarnya dari Hyunjin, laki-laki itu hanya ingin menjadi seorang jurnalis.

"Ya," Beomgyu masih dengan kegiatannya yang hampir selesai, tapi ia sengaja memperlambat gerakannya, menunggu Hyunjin mengatakan hal lain.

"Beberapa hari yang lalu, aku lupa kapan tepatnya, mungkin dua atau tiga hari setelah kau menghilang, anak itu—orang yang kubilang mengikutimu—muncul di hadapanku."

Gerakan tangan Beomgyu terhenti, ia mendongak dengan sepasang alis yang berkerut heran, "Apa?"

"Dia mengikutiku, tapi begitu ketahuan, anak itu malah pergi."

Apa tujuan Jeongin sebenarnya? Dan dari begitu banyaknya orang di Busan, kenapa harus Hyunjin?

Hyunjin tentu menyadari, ketika hening tercipta dengan begitu canggung. Mengenai anak yang mengikutinya wakth itu, ia memang tidak berbohong. Tapi ia hanya membutuhkan reaksi Beomgyu. Ia hanya perlu memastikan sesuatu dan apa yang dilihatnya sudah cukup untuk menjadi jawaban. Ia mendengus perlahan, menahan tawa yang rasanya ingin mengalir begitu saja.

Terkadang punya intuisi yang tajam itu memang terasa menyebalkan, karena ketika ada sesuatu yang berjalan di luar kebiasaan atau perkiraan, ia akan dengan cepat menyadarinya. Dalam beberapa hal sebenarnya cukup menguntungkan, tapi dalam hal lain, itu menyebalkan. Seperti sekarang ini.

"Beomgyu-ya..." Hyunjin melangkahkan kedua kakinya ke arah meja belajar miliknya yang ada di dekat jendela kamar mereka, lalu mengambil sebuah foto dari balik buku catatan yang masih terbuka, "Aku tidak tahu apa yang kau sembunyikan dariku selama ini. Walau begitu, aku juga tidak akan memaksamu untuk mengatakannya. Tapi..."

Hyunjin memberikan selembar foto itu pada Beomgyu. Ukurannya tidak terlalu besar. Ada begitu banyak lipatan tak beraturan, seolah seseorang dengan sengaja menggenggamnya begitu keras. Beomgyu menatapnya bingung, walau sedikit waspada. Tapi ia tetap menerima foto itu dari tangan Hyunjin.

Pemuda beriris gelap itu menatap Hyunjin dengan tatapan bingung, lalu beralih pada lembaran di tangannya. Seketika irisnya melebar, dan tangannya sedikit bergetar.

Tidak mungkin...

"Aku hanya merasa bahwa mungkin kita tidak akan bertemu lagi setelah ini, jadi biar kukatakan saja sekarang. Yang ada dalam foto itu adalah aku, kakakku dan salah seorang saudara perempuan kami yang seumuran denganku. Foto itu diambil dua tahun yang lalu. Dua bulan setelahnya, gadis itu menghilang."

Beomgyu meremat sebelah tangannya yang lain, rasa gelisah perlahan menyusup masuk. Kebetulan macam apa yang sebenarnya tengah bermain-main saat ini?

"Lalu apa hubungannya denganku?"

Hyunjin tersenyum tipis, tapi Beomgyu seperti merasa bahwa itu dipaksakan.

"Seharusnya tidak ada karena kalian bahkan tidak pernah saling mengenal. Kita bahkan baru berkenalan jauh setelah dia menghilang. Tapi reaksimu barusan, walau sesaat, seolah berkata lain. Hanya saja, seperti apa yang kukatakan padamu, aku tidak akan bertanya apapun. Tapi, kau dan dia mungkin terjebak dalam hal yang sama. Kalau suatu hari nanti kau bertemu dengannya, tolong katakan padanya, untuk setidaknya memberi tanda pada kami kalau dia masih hidup. Itu saja sudah cukup, kami tidak akan memaksanya untuk kembali, karena baik aku ataupun Minhyun-hyung mengerti apa yang membuatnya pergi."

Beomgyu menatapnya dengan perasaan hampa. Foto dalam genggamannya hanya berisikan tiga orang, seorang laki-laki dewasa yang dikenalnya sebagai Hwang Minhyun, Hyunjin yang mungkin masih berusia belasan, dan seorang gadis berambut hitam panjang.

Gadis yang sama yang pernah dilihatnya ada pada sebuah foto pernikahan yang ada di dalam kamar Soobin.

Kebetulan mengerikan macam apa ini?

"Kau mengetahui sesuatu? Tentang apapun."

"Tidak, aku tidak tahu apapun. Tapi jangan pernah meremehkan intuisi anggota keluarga Hwang, jika ada keanehan aku pasti akan menyadarinya. Dan biasanya tidak pernah meleset. Karena itu, Beomgyu..."

"...selamat tinggal, senang bisa mengenalmu selama satu tahun ini."

~0~

Beomgyu berjalan keluar dari bangunan asrama bertingkat yang selama ini ditinggalinya. Sebuah Range Rover hitam terparkir hanya berjarak lima meter dari tempatnya berdiri. Dengan langkah perlahan ia menghampirinya, membuka salah satu pintu kursi penumpang di bagian belakang, dan mendapati sosok Choi Soobin duduk di sisi satunya lagi. Iris gelapnya fokus pada ponsel di tangannya, tapi Beomgyu tahu bahwa fokusnya kini telah teralih padanya.

"Urusanmu sudah selesai kan?" Soobin menyimpan kembali ponselnya pada saku jasnya dan tatapannya kini beralih sepenuhnya pada Beomgyu, "Kemarilah."

Pemuda berambut coklat itu menoleh ke arah bangunan asrama, lalu beralih kembali pada laki-laki di hadapannya. Masa bodoh dengan siapa wanita itu sebenarnya atau bagaimana kondisinya kini. Lagipula seharusnya itu bukan urusannya. Selama tinggal di mansion milik Soobin, ia tidak pernah sekalipun melihat keberadaan wanita itu. Jadi haruskah ia simpulkan bahwa mungkin saja wanita itu pergi entah kemana, atau menjemput ajal lebih dulu?

Ah, tapi itu kan seharusnya bukan urusannya.

Beomgyu tersenyum lebar—jika tidak ingin disebut menyeringai. Tanpa menunggu lagi, ia masuk ke dalam mobil lalu menutup kembali pintunya. Alih-alih duduk di samping Soobin, ia justru memposisikan dirinya di pangkuan sang dominan, yang tentu saja dibalas oleh seringai yang sama darinya.

"Sudah mulai berani?"

Sebelah tangan Soobin melingkar di pinggang Beomgyu, menahannya agar tidak terjatuh dan tangan satunya lagi yang dengan kurang ajarnya menyusup masuk di balik kemeja abu-abu yang dikenakannya, menyentuh kulit punggungnya membuat bulu kuduknya meremang.

Tapi bahkan ia sendiri tidak jauh berbeda, jemari lentiknya bergerak perlahan, melepas simpul dasi yang sudah terpasang rapi dan membuka kancing kemeja milik sang dominan satu persatu.

"Aku kan hanya mengikuti permainanmu," Suaranya mengalun pelan, tapi sarat akan godaan. Beomgyu telah jatuh begitu dalam. Dalam kegilaan yang terasa menyenangkan baginya, hingga rasanya menjadi candu. Membuatnya menginginkan lebih, dan lebih lagi. Persetan dengan hal yang tabu, ia menikmatinya.

Choi Beomgyu telah jatuh begitu dalam oleh belenggu milik sang dominan.



.
.
(END)
.
.



(Jangan lupa lihat catatan penulis di chapter depan ya. Hehe.)

FREIER VOGEL || SooGyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang