01

1.7K 101 17
                                    

Gemericik air membelah kesunyian. Sisa-sisa hujan sore tadi meninggalkan kubangan-kubangan air dimana-mana. Satu menggenang, lainnya habis terciprat karena kendaraan yang lewat. Sumpah serapah terdengar tatkala air kotor bercampur debu jalanan dan sampah busuk mengenai ujung sepatu.

Jalanan ramai. Lalu lalang kendaraan adalah yang paling jelas terlihat. Lampu menyorot sana-sini, klakson bising menguasai udara. Satu dua orang melangkah, sesekali terhenti, menatap kaki yang terciprat air lalu menggerutu, atau sengaja memainkan air di kaki.

Satu sosok bertubuh kecil memilih berlari, membelah keramaian. Penampilannya lusuh, bertelanjang kaki, dan kotoran di hampir seluruh bagian tubuh. Surai hitamnya terlihat pudar, basah bercampur air hujan dan keringat. Netra gelapnya bergerak liar kesana-kemari.

Panik. Bingung. Dan, takut.

Orang-orang di sekitarnya mengernyit jijik. Menatap si bocah lelaki yang tak ubah layaknya seorang gelandangan yang bisa dengan mudah ditemui di sudut-sudut pinggiran kota yang gelap dan dingin, dan tidak terjamah orang biasa. Mungkin ia memang gelandangan, mungkin. Toh tidak ada yang peduli akan hal itu sama sekali. Mereka sendiri diburu waktu dan mood buruk karena kondisi jalanan setelah hujan.

Beberapa orang lainnya berlarian, mengikuti arah si bocah lelaki lusuh yang kecepatan langkahnya mulai melambat.

Lelah. Lagipula ia sama sekali tidak memakan apapun—selain dari apa yang diizinkan, itu pun tidak pernah layak makan.

Matanya berkunang-kunang, dan sebelum ia sempat melangkah lebih jauh lagi, kegelapan telah lebih dulu menyergapnya.

.
.

“…gyu… hyung

“Beomgyu-hyung…”

“Tuan Choi, sekiranya kau masih hidup dan kesadaranmu tidak sedang diambil alih oleh makhluk astral, tolong untuk merespon panggilanku.” Nada kesal terdengar. Si pemanggil mengetuk meja berkali-kali, tidak sabaran. Wajar saja, ia sudah memanggil pemuda di hadapannya sejak beberapa menit yang lalu dan yang dipanggil tidak memberikan respon sama sekali.

“Ya?”

Kang Taehyun itu penyabar—sebenarnya tergantung keadaan. Dan situasi saat ini jelas tidak termasuk dalam kondisi yang bisa ditolerirnya. Bawaannya ingin menghujat, tapi sayang kalau buang-buang tenaga. Lebih baik dipakai menghujat senior satu tingkat di atasnya.

“Kau mendengar kata-kataku?”

“Tidak.” Lugas sekali.

Taehyun menatap datar pemuda di depannya. Niatan ingin menjelaskan menguap seketika, jadi ia hanya berdiri, menyampirkan tas selempangnya, berniat untuk segera pergi dan menghilang dari perpustakaan tempat mereka berada kini.

“Ini soal besok—“

“Kau kan tahu kalau hari Sabtu dan Minggu aku punya kesibukanku sendiri,” Beomgyu mendongakkan kepala. Fokus pada buku di hadapannya teralih sepenuhnya, pada pemuda di hadapannya yang terlihat sekali ingin segera pergi.

“Katakan itu pada Changbin-hyung—langsung. Aku tidak ingin buang-buang tenaga hanya untuk mengarang alasan lagi untukmu atau kena omelannya yang nonstop,” Taehyun bergegas, hanya sekian detik dan ia sudah menghilang di balik pintu.

Meninggalkan Beomgyu—yang hanya bisa menghela nafas.

.
.

Choi Beomgyu adalah seorang mahasiswa biasa.

FREIER VOGEL || SooGyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang