13

524 53 15
                                    

Laki-laki itu meregangkan tubuhnya. Lelah menggerogoti layaknya rayap pada bahan kayu. Nyaris lima hari terjebak di ruangan segi empat dengan tiga hingga lima orang dan setumpukan dokumen-dokumen tebal yang menutupi tiga perempat bagian meja kerja.

Ia lelah, jelas saja.

Rasanya seperti tidak punya kehidupan. Sesekali ingin menyesali keputusannya masuk akademi kepolisian kalau akhirnya malah berujung ia yang punya kehidupanseperti para tunawisma di luaran sana. Kapan terakhir kali ia menginjak rumah, atau kapan ia menghubungi sang pendamping hidup. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun, padahal hanya lima hari---nyaris sebenarnya, karena ia sudah ingin menyerah di hari kelima.

Lembur yang menyiksa diri sekali. Kalau saja sang atasan, bukan orang kelewat tegas yang bawaannya minta dihujat di belakang.

Kim Taehyung mengusap wajahnya kasar, lalu menepuk kedua pipinya perlahan. Waktu sudah menunjukkan nyaris pukul sembilan malam, terlalu larut untuk hanya sekedar berbelok membeli makan untuk mengganjal perut sementara, tapi ia lapar---dan jenuh kalau perlu ditambahkan.

Kehidupannya nyaris monoton, walau sesekali ada saatnya memacu adrenalin sampai hampir dijemput malaikat maut. Busan itu neraka sejujurnya, wajah indahnya hanya tampak di luar, sekali melangkah masuk ke jalur yang salah, kalau tidak bisa bertahan tahu-tahu hanya tinggal nama yang tertinggal.

"Ah?"

Ia menengok ke arah belokan bertangga di kanan, setapak jalanan kecil yang hanya muat untuk dua orang berjalan itu menarik perhatiannya. Tepatnya lampu dari papan nama yang menggantung dan bersuara decit tertiup angin malam.

"Sudah bertahun-tahun aku lewat jalan ini, baru kulihat ada bar di tempat seperti ini."

Taehyung melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya. Pukul sembilan lewat sepuluh. Jungkook dan Beomgyu mungkin sudah tertidur, lagipula ia juga tidak menghubungi mereka kalau hari ini ia pulang, mungkin mampir sejenak tidak akan masalah.

Ia berbelok, menuruni tangga dan berdiri terpaku di pintu kayu berwarna tanah. Papan namanya buram, dan ia bahkan kesulitan membacanya kecuali tiga huruf di awal.

Arl---tidak jelas, apa mereka tidak ada niat untuk sekedar mengganti papan namanya?

Taehyung melengos pelan, seharusnya ia tidak usah peduli. Toh itu bukan urusannya. Ia menjulurkan tangannya, membuka pintu dan suara lonceng beradu terdengar. Sejenak, ia terpaku di muka pintu. Tempat ini tidak terlalu ramai, hanya ada dua orang di meja bilyard, seorang pengunjung berpakaian serba hitam di meja bar dan seorang bartender.

Sepasang iris gelapnya menatap laki-laki yang sedang duduk di depan sang barista. Lalu mendengus perlahan. Dilihat selewat saja ia tahu orang itu, terutama karena postur tubuhnya. Dicari dengan susah payah, orang ini seperti ninja, giliran ia tengah beristirahat malah bertemu semudah membalikkan tangan. Hidup memang sangat tidak adil.

Taehyung berjalan mendekati meja bar, menarik salah satu kursi lalu dengan santainya duduk tanpa mempedulikan laki-laki di samping kanannya.

"Aku tidak tahu kalau seorang polisi punya banyak waktu luang sampai bisa mampir ke tempat semacam ini... Taehyung-ssi?"

Suara dalam itu mengusiknya. Rasanya seperti tersindir padahal ia sudah berniat untuk tidak mempedulikan orang di sebelahnya. Ini bukan jam kerjanya, tapi waktu istirahatnya, dan ia tidak ingin terganggu oleh apapun---termasuk panggilan telepon Yoongi, atasannya.

"Bukankah harusnya aku berterimakasih padamu karena sudah membuatku nyaris seperti mayat hidup selama hampir seminggu hanya untuk menyelidiki perdagangan senjata ilegal yang kalian lakukan, Soobin-ssi?"

FREIER VOGEL || SooGyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang