02

879 78 8
                                    

"Hujan..."

Ada bayangan buruk. Silih berganti terlintas seperti tayangan slideshow di kelas. Satu waktu adalah hari dimana ia berlari tanpa henti. Dulu sekali, jauh sebelum waktunya kini. Hal lain yang terlintas, seorang anak seumuran dengannya. Pernah terlihat akrab bersamanya, walau kerap kali orang-orang menatapnya aneh.

Katanya, ia menakutkan.

Tapi apa yang menakutkan dari seorang bocah delapan tahun yang bahkan tidak diizinkan untuk berinteraksi dengan dunia luar?

Nyatanya, perkataan mereka memang tidak bisa ia bantah kemudian. Ia dipaksa untuk melihat kenyataan, yang sebenarnya terlalu dini untuk bisa ia lihat—

—tidak, tidak. Orang normal pun mungkin tidak ingin melihatnya.

Hari itu sama hujannya, seperti hari ini, seperti hari dimana ia berlari tak tentu arah. Kalau hari ini adalah kelabu yang dominan, maka netra gelapnya kala itu terperangkap dalam warna merah. Ingin dilupakan, sayangnya terpatri kuat dalam ingatan.

Ia dipaksa untuk melihat mayat yang dipotong-potong tak beraturan. Tangan kanan terlempar. Tangan kiri ditarik. Bola mata dicungkil. Dan genangan likuid merah gelap yang terlihat seperti kubangan tinta dari kejauhan.

Menjijikkan. Memuakkan.

Mengerikan.

Terlebih lagi, yang melakukannya adalah bocah seumurannya.

Konyol bukan? Sebenarnya ia hidup di dunia macam apa?

Ngomong-ngomong, nama bocah itu—

Yang Jeongin.

.
.

"Gyu, hujan sudah reda sejak tadi."

Ia tersentak. Iris gelapnya mengerjap perlahan. Pemandangan luar sana sudah terlihat lebih jelas. Hanya tersisa tetesan-tetesan tak berarti. Jalanan kembali ramai, dan hiruk pikuk kendaraan kembali terdengar.

Berapa lama ia melamun?

"Ah, aku akan pergi sekarang."

Ia menyampirkan tas selempang tuanya di pundak, membenahi pakaiannya sedikit—walau diyakininya sebenarnya tidak ada gunanya sama sekali toh ia sedari tadi tidak melakukan apapun, lalu mengenakan sepatunya dan berjalan ke arah pintu kamar yang ditinggali oleh mereka berdua. Sebelum benar-benar menghilang di balik pintu, ia membalikkan tubuhnya.

"Aku akan kembali besok, kalau kau melakukan kekacauan selama aku tidak ada, akan kupastikan kau tidur di lorong selama seminggu ke depan."

Yang ditembak hanya memutar bola matanya bosan. Rasanya, ia sudah ratusan kali mendengar hal itu. Ia masih duduk dekat meja, sebelah kaki naik ke atas kursi.

"Ya, ya. Kau akan menemukan tempat ini sama baiknya seperti ketika kau tinggalkan," ia melirik ke arah jendela yang sedikit terbuka, tepatnya ke luar. Jalanan sedikit lebih terang daripada beberapa menit yang lalu, "dasar cerewet."

Iris tajam miliknya mengerjap beberapa kali. Beomgyu sudah menghilang sejak beberapa menit yang lalu. Ia tidak terlalu peduli. Sesuatu di luar sana telah lebih dulu menarik perhatiannya.

Tepatnya seseorang. Yang sedari awal ketika hujan mulai turun, ia sadari berdiri di tempat yang sama.

Siapa?

.
.

Busan adalah kota pelabuhan.

Di balik gemerlapnya pusat kota, dan keramaian yang ada di dalamnya, ada satu sisi tersembunyi yang jauh lebih gelap dari dasar laut tak berujung.

FREIER VOGEL || SooGyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang