28

170 14 6
                                    

Hwang Hyunjin mengerjapkan kedua matanya, langkah kakinya sontak terhenti. Kalau saja refleksnya buruk, ia mungkin akan sekalian menjatuhkan nampan yang berisi makan siangnya begitu saja. Kafetaria fakultas hukum sedang lengang, jam makan siang telah lama terlewat. Hanya ada beberapa orang yang ada di sana, dengan jarak yang berjauhan, makanya kehadiran orang itu akan lebih menarik perhatian—terutama karena tampilannya yang tidak biasa.

Ia menghela nafas, kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda, kali ini dengan tujuan menghampirinya. Orang itu tersenyum begitu lebar, sampai iris gelap yang biasa dilihatnya itu nyaris tidak terlihat.

“Kekhawatiranku selama satu minggu kemarin rasanya jadi tidak berarti sekarang."

Mahasiswa jurusan hukum itu meletakkan nampan miliknya di atas meja. Dilihatnya seseorang yang duduk di hadapannya sesaat, beberapa plester luka yang menempel di beberapa bagian wajahnya, juga kedua tangan yang penuh dibalut oleh perban. Nampan di depannya telah kosong. Dilihat dari gelagatnya saja Hyunjin sudah tahu bahwa orang ini tengah menunggu dirinya.

"Kau tidak sedang melakukan percobaan bunuh diri kan, Beomgyu-ya?"

"Aku tidak keberatan dengan kematian yang cepat—tapi aku masih cukup waras untuk tidak melakukan hal bodoh semacam itu."

Hyunjin mengendikkan bahu. Ia memilih untuk fokus pada makan siangnya yang telah terlewat dari jam yang seharusnya. Kelas terakhirnya tadi menghabiskan waktu lebih banyak dari biasanya. Tapi iris tajamnya sesekali menyapu sekitar, paling sering pada pemuda di hadapannya.

Ada yang terasa aneh.

Tapi ia lebih memilih untuk diam. Atau bersikap seolah diam. Beberapa hal memang akan lebih baik dibiarkan begitu saja, lebih sedikit mengetahuinya atau malah tidak usah mengetahui apapun akan lebih baik. Setidaknya ia tidak perlu membahayakan keselamatannya sendiri untuk sesuatu yang tidak ada hubungan dengan dirinya. Tapi di lain sisi, mungkin karena ia bergelut di bidang yang mengharuskannya untuk selalu penasaran dengan apapun, rasa penasarannya kadang menjadi begitu tinggi hingga tahap dimana bisa saja itu membahayakan dirinya sendiri.

"Ponselmu tidak aktif selama satu minggu, lalu tiba-tiba muncul begitu saja di sini, kau yakin baik-baik saja?"

Pertanyaan itu begitu sederhana, tapi Beomgyu tahu jika ia salah sedikit menjawabnya, itu hanya akan membuatnya terjebak dalam pertanyaan lain yang bisa saja membuatnya kelepasan mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya dikatakan. Hyunjin itu tampilan luarnya saja yang sering terlihat acuh pada sekitarnya, tapi ia seorang pengamat. Mungkin karena garis keturunannya, atau karena pada dasarnya memang orang ini yang senang sekali memperhatikan orang lain seolah objek penelitian.

"Ponselku mati, dan aku sempat mengalami kecelakaan, makanya tubuhku sekarang malah dibalut perban seperti ini."

Hanya itu satu-satunya jawaban paling masuk akal, lagipul ia tidak sepenuhnya berbohong. Ponselnya memang mati di hari pertama ia menghilang. Taehyun baru memberikan benda itu kembali padanya adalah tepat sebelum ia pergi bersama Soobin ke acara yang katanya jamuan makan malam itu. Soal kecelakaan dan luka di tubuhnya, ia tidak berbohong kan? Yang manapun tidak masalah, entah itu pertemuan kembali dengan Soobin atau pertemuan kembali dengan sang ibu, anggap saja keduanya memang kecelakaan—yang disengaja.

"Kecelakaan?"

Karena seingatnya tidak ada apapun yang terjadi dalam satu minggu terakhir ini. Pembunuhan berantai yang acak pada para gelandangan itu juga terhenti di keesokan harinya setelah Beomgyu menghilang. Tidak ada kejadian apapun kecuali kalau polisi sendiri yang memang memilih untuk tidak mempublikasikannya pada masyarakat langsung.

"Aku menolak untuk menjawab lagi kalau kau masih ingin bertanya. Ayolah, setidaknya aku masih hidup dan malah duduk tepat di depanmu, jadi lupakan saja apapun yang ingin kau tanyakan," Beomgyu telah lebih dulu memotong ucapan Hyunjin, karena ia yakin orang ini pasti akan melanjutkan pertanyaannya, "Aku ke sini hanya untuk mengambil barang-barangku yang masih tertinggal di asrama, setelahnya aku akan pergi."

Hyunjin yang telah menyelesaikan makan siangnya mendongak, menatap teman sekamarnya itu yang malah membalas tatapannya dengan senyum yang sama sekali belum pudar sejak pertama mereka bertemu tadi.

"Apa?"

"Aku akan pindah. Seseorang mengajakku tinggal bersamanya—berhenti menatapku seperti itu, sialan."

Hyunjin memang menatapnya nyaris tanpa berkedip, seolah melihat sesuatu yang aneh—walau secara kiasan memang sungguhan aneh. Pindah? Mendadak sekali.

"Tidak ada sesuatu yang terjadi kan? Karena ini rasanya terdengar mendadak sekali. Kau tidak dijadikan simpanan pengusaha kaya atau sejenisnya?"

Pikirannya kembali melayang pada seorang pemuda yang sempat mengikutinya beberap hari yang lalu. Anak itu menghilang tanpa jejak. Walau ia memilih untuk tidak peduli, tapi tatapannya yang awalnya terlihat seperti pemburu yang berhadapan dengan mangsanya itu sesaat berubah seolah ia anak kucing yang kehilangan induknya. Apalagi anak itu juga sempat dilihatnya mengikuti Beomgyu di hari yang sama tepat sebelum teman sekamarnya itu menghilang tanpa jejak.

"Pikiranmu jauh sekali. Aku tidak serendah itu, ngomong-ngomong."

Ah, kalau Soobin dan wanita di dalam foto yang pernah dilihatnya itu masih terikat hubungan pernikahan, ucapan Hyunjin tidak sepenuhnya salah. Walau rasanya kesal, tapi ia memang terdengar seperti simpanan seorang pengusaha. Ingat saja berapa kali ia tidur dengannya, dari yang awalnya tidak ingin hingga akhirnya malah ia sendiri yang menggodanya, bertingkah layaknya jalang yang haus sentuhan.

Hanya saja kalimat pertama yang diucapkan oleh Hyunjin membuatnya sedikit penasaran, apa maksudnya dengan sesuatu?

"Apa maksudmu dengan terjadi sesuatu?"

Sekelebat bayangan soal anak yang mengikutinya kembali terlintas dalam pikiran Hyunjin, tapi ia langsung menepisnya. Untuk sementara, hal itu akan ia simpan sendiri, sampai ia bertemu kembali dengan anak itu. Kalau mereka tidak bertemu lagi, ya sudah, lupakan saja. Anggap saja mereka tidak pernah bertemu dan pertemuan itu hanya imajinasi belaka.

"Kau kan tahu satu minggu yang lalu ada begitu banyak berita pembunuhan gelandangan yang kebanyakan ada di pelabuhan. Aku hanya takut terjadi sesuatu ketika kau menghilang. Karena setelah kau pergi hari itu, sampai hari ini tidak pernah terdengar ada kasus lagi."

Dan itu yang membuat suasana hati sang kakak sedikit lebih baik, dengan tidak adanya tambahan korban artinya ia tidak perlu menambah perhatiannya pada hal lain lagi, walau tetap saja jam lemburnya tidak berkurang sama sekali.

"Begitu?"

Apa ini ada hubungannya dengan sang ibu?

"Tapi karena kau sudah ada di sini, kurasa itu tidak lagi menjadi hal yang penting," Hyunjin beranjak dari tempatnya, membawa nampan miliknya yang telah kosong, "Ayo ke asrama, bukannya tadi kau bilang ingin mengambil barang-barang milikmu."

~0~

"Jungwoo-hyung, lain kali kalau kau ingin menghubungi seseorang, tolonglah jangan menggunakan nomorku, rasanya melelahkan sekali terus-menerus menggantinya agar tidak ada yang melacaknya sama sekali," Mark masih mengotak-atik ponsel di tangannya, sebelum kemudian mematikannya lalu memasukkannya ke dalam tas, "kali ini identitas siapa lagi yang akan kugunakan?"

Jungwoo tertawa kecil. Sudah ia duga, setelah pesan singkatnya kemarin, pasti akan ada seseorang dari mereka yang melacaknya. Makanya ia menggunakan ponsel milik asistennya, toh anak itu juga menggunakan identitas palsu, dan kemampuannya di bidang IT juga tidak bisa diremehkan, jadi sekeras apapun usaha mereka untuk melacaknya, mereka hanya akan berakhir pada identitas orang lain.

"Maafkan aku, ini yang terakhir. Ayo pergi, Seokjin-hyung menghubungiku tadi. Jaehyun menyuruhku kembali, suasana hatinya sedang buruk katanya," Jungwoo menatap ke depan, sebuah mobil berwarna hitam sudah menunggu tidak jauh dari tempatnya berdiri, "Hubungannya denganku memangnya apa?"


.
.
(Continued to Chapter 29)
.
.

(Satu chapter lagi dan buku ini end ya, hehe.)

FREIER VOGEL || SooGyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang