06

646 61 21
                                    

Ngh…”

Beomgyu membuka kedua matanya perlahan. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela membuat tidurnya terganggu. Ia mengerjapkan kedua matanya, menyesuaikan retinanya dengan cahaya yang terlalu silau.

“Dimana—“

Ia tersentak, dan memperhatikan sekelilingnya. Kamar yang ditempatinya kini sekarang terlihat lebih jelas dibandingkan semalam.

Ruangan itu luas, dengan perabotan minim. Warna kelabu mendominasi. Selebihnya adalah hitam, atau putih. Jendela-jendela besar turut menghiasi, mengingatkannya akan rumah-rumah bangsawan Eropa dulu yang sering tanpa sengaja dilihatnya di tumpukan buku-buku milik ayah angkatnya.

Beomgyu menyibakkan selimut tebal yang menutupi sebagian tubuhnya. Angin dingin menerpa kulitnya ketika disadarinya bahwa bagian bawah tubuhnya telanjang. Hanya selembar kemeja hitam kebesaran yang menutupi tubuh bagian atasnya.

Ia ingat semuanya, apa yang dialaminya semalam atau bagaimana reaksi tubuhnya. Ah, memalukan. Itu pengalaman pertamanya, dan ia bahkan mencapai klimaksnya hanya karena permainan jari saja?

Beomgyu menjejakkan kedua kakinya di lantai, berdiri lalu melangkah mendekati jendela. Kemeja yang dikenakannya merosot hingga bahu kanannya terlihat. Siapa yang peduli, toh seseorang bahkan sudah melihatnya telanjang.

Tangan kanannya memegang pegangan jendela. Terkunci. Tapi apa yang dilihatnya di luar adalah sesuatu yang tidak dikenalnya sama sekali. Ia tidak tahu ini dimana, walau perkiraannya ia masih berada di kota yang sama.

Iris coklatnya masih memandang keluar, ke pekarangan yang seolah tanpa ujung. Rerumputan yang terpotong rapi, dengan beberapa pohon di jarak yang berjauhan tertangkap penglihatannya. Beberapa lelaki berpakaian serba hitam terlihat berkeliaran.

Beomgyu mengeratkan genggamannya pada pegangan jendela. Ponselnya hilang, dan barang-barang serta pakaian yang sebelumnya ia kenakan entah berada dimana. Ia ingin keluar, kamar ini seperti memberti tekanan tak kasat mata padanya. Warna-warna suram yang mendominasi semakin membuatnya tertekan.

Ini dimana?

Apa yang akan terjadi padanya?

Atau, yang lebih sederhana lagi, apa ia akan mati setelah ini?

Ia pernah beberapa kali melihat apa yang pernah dilakukan Soobin pada orang-orang yang berkhianat padanya, atau berusaha lari darinya. Itu ingatan yang buruk, sangat buruk sejujurnya. Ingin dilupakan, sayang sekali membekas dalam ingatan. Caranya berbeda, tergantung bagaimana suasana hati orang itu, tapi semuanya berakhir sama—mati.

Apa ia juga akan bernasib seperti itu?

Ia lari dari orang itu selama hampir dua belas tahun—walau kini ia sadar, bahwa seperti apa yang dikatakan oleh Soobin, ia hanya seperti berlari di telapak tangan orang itu. Ia tidak pernah benar-benar bebas, kalau tidak, bagaimana orang itu bisa dengan mudah menemukan keberadaannya. Jelas saja karena ia sebenarnya masih dalam ruang lingkup Choi Soobin.

Laki-laki itu masih sama seperti dulu. Raut wajah tegasnya seolah tidak lekang oleh waktu. Kali pertama mereka bertemu, adalah setelah ia kabur dari rumahnya. Dan orang itu masih sama. Soobin di umur dua puluh di kala pertama mereka bertemu. Atau Soobin di masa kini setelah dua belas tahun tak ia lihat keberadaannya. Keduanya masih sama. Sama-sama dingin, penuh tekanan---

---dan menakutkan.

Dan sekarang ia malah kembali ke sini, lagi.

Dulu sekali, ketika ia dibawa ke hadapan orang itu, ia bahkan tidak tahu apa tujuannya. Terlebih ketika laki-laki bersurai biru itu mengatakan bahwa Soobin sendiri yang menginginkannya.

FREIER VOGEL || SooGyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang