Jungwoo
Aku membuka mata karena cahaya terang yang mengenai mataku. Aku menatap sekeliling dan terkejut. Ah... Aku lupa. Saat ini aku sedang tidak ada di rumahku. Semalam aku menginap di kediaman keluarga Kim.
Kuperhatikan sekeliling, netraku tertuju pada jam yang ada di dinding. Pukul 08.45. Demi apa? Ternyata ini sudah siang. Aku bergegas keluar dari selimut dan mencoba bangun. Tapi perutku rasanya benar-benar sakit. Sial! Setiap hari selalu saja begini. Tapi kali ini sakit yang ku rasakan benar-benar melebihi yang biasanya.
Sebenarnya aku bisa saja melawan, tapi beasiswa yang selama ini selalu kupertahankan bisa benar-benar dicabut jika aku membuat masalah dengan anak-anak itu. Jadi aku hanya bisa menahan diri. Beginilah nasib orang miskin sepertiku.
Tok! Tok! Tok!
"Y-ye?"
Ketukan di pintu membuatku terkejut. Saat daun pintu terbuka, ada sosok .... Siapa ya namanya? Senyumnya sangat manis. Ada lesung pipit di pipi kirinya. Dia mendekati dan menyentuh keningku dengan tangan kanannya.
"Kondisimu sudah lebih baik daripada kemarin. Demam yang menyerang tubuhmu juga sudah mulai turun." Ucapnya lembut.
"J-joesonghaeyo, Ajeossi. Aku bangun kesiangan." Ucapku pelan. Aku benar-benar tidak enak hati karena terlambat bangun.
"Kau meminta maaf untuk apa? Tubuhmu sedang sakit dan kau butuh banyak istirahat, jadi wajar saja jika kau bangun terlambat hari ini."
Aku tersenyum. Sejak pertama kali bertemu, enam bersaudara keluarga Kim benar-benar baik. Mereka tidak pernah memandangku rendah hanya karena aku orang tidak berpunya. Mereka selalu memperlakukanku layaknya seorang manusia. Tidak seperti orang lain yang selalu menghina dan mencaci.
"Kau harus sarapan dan minum obat. Kajja! Aku kan membantumu untuk berjalan menuju ruang makan."
"A-anibnida. Aku bisa melakukannya sendiri. Aku tidak ingin merepotkan Ajeossi." Aku menolak sambil beranjak dari posisiku. Aku mencoba berdiri, tapi rasa sakit di perutku membuatku tidak bisa berdiri tegak.
Ajeossi di depanku ini hanya tersenyum melihatku. Ia mendekatiku dan menatapku lekat.
"Bagaimana? Bukankah itu sakit?" Tanyanya menggoda. Aku hanya diam saja.
"Tidak usah memaksakan diri, Jungwoo-ya. Saat sakit, kau harus mengatakannya. Jangan takut untuk merepotkan orang lain!" Tegur Ajeossi berlesung pipit itu.
"M-mian. Aku tidak bermaksud menahan diri. Hanya saja, aku tidak pernah bergantung pada orang lain. Selama ini aku hanya bisa mengandalkan diriku sendiri. Jadi, tanpa sadar aku..."
Ajeossi yang berdiri di hadapanku ini tiba-tiba menatapku dengan tatapan sendu. Tangan kirinya mengusap-usap kepalaku pelan.
"Kajja! Mulai sekarang, kau harus mulai membiasakan diri untuk mendapat bantuan orang lain. Kau bisa melakukan semuanya sendirian, tapi saat kau benar-benar tidak mampu, kau harus meminta pertolongan. Aracchi?"
"Memangnya ada orang yang mau membantu orang sepertiku? Aku hanya orang miskin yang tidak punya apa-apa. Aku..."
Ucapanku terhenti saat melihat tatapan tajam Ajeossi itu. Ia tidak mengatakan apa-apa. Hanya membantuku hingga aku berada di dapur.
Satu persatu, lima bersaudara Kim lainnya muncul di dapur. Mereka duduk di kursi dengan urutan persis seperti kemarin. Tunggu! Mengapa mereka semua ada di rumah? Mereka tidak bekerja?
"Terimakasih karena sudah membantunya turun, Joon." Ucap Seokjin Ajeossi yang muncul paling terakhir.
Joon... Ah! Aku ingat. Ajeossi yang membantuku turun tadi namanya Namjoon Ajeossi. Sebelum duduk di kursinya, Seokjin Ajeossi menyempatkan diri untuk memeriksa suhu tubuhku.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Me, not Him! (Can I Hope? Book 2)
FanfictionCan I Hope? Season 2 Setelah orang tuanya meninggal, Jeon Jungwoo hanya ingin dicintai dan diterima oleh orang-orang di sekelilingnya. Saat mengenal Seokjin, Yoongi, Namjoon, Hoseok, Jimin dan Taehyung, ia mengira bahwa Tuhan sudah berbaik hati men...