🍂 25 🍂

102 15 2
                                    

Pukul 22.05, Jungwoo baru saja pulang dari restoran Jajangmyeon tempat dulu ia bekerja. Tadi ia baru pulang dari perpustakaan saat perutnya tiba-tiba terasa lapar. Karena ia sedang berada tak jauh dari area restoran Jajangmyeon, akhirnya ia memutuskan untuk mampir. Ia juga ingin mengobrol dengan owner-nya.

Tanpa Jungwoo sadari, ia berada di restoran selama satu jam lebih. Ia harus bergegas pulang ke Apartemennya yang terletak cukup jauh. Sebenarnya Jungwoo lupa jika tempat tinggalnya sudah bukan di Seoul, tapi di Seocho-gu.

Pemuda itu harus mengendarai kereta bawah tanah untuk mencapai Apartemen dengan biaya yang lebih murah, sekitar 1,4k won (dalam rupiah senilai 15k). Jika ia menggendarai taksi, ia harus membayar sampai 17k won (setara dengan nominal 200k). Jadi, pemuda itu segera melangkahkan kakinya menuju ke stasiun.

Saat melewati taman, Jungwoo berhenti sebentar untuk menarik napas. Sejak mendonorkan sumsum tulang belakang beberapa waktu lalu, entah mengapa ia menjadi begitu mudah lelah. Padahal yang ia tahu, tidak ada efek apapun bagi pendonor kecuali beberapa hari pasca operasi. Tapi tubuhnya... entahlah.

Pemuda itu memperhatikan sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Biasanya jam segini masih ada saja orang-orang yang berlalu lalang. TapiKemudian ia memperhatikan langit yang terlihat sangat gelap. Pantas saja sudah tidak ada orang yang berlalu lalang.

"Sepertinya mau hujan." Gumamnya sambil menengadahkan telapak tangannya ke atas. Tiba-tiba ia merasakan tetesan air di tangannya. Saat ia memandang ke atas, gerimis mulai turun membasahi bumi.

Jungwoo segera berlari mencari tempat berteduh. Tapi, langkahnya tiba-tiba terhenti karena ada seseorang yang muncul di hadapannya.

Pemuda itu memperhatikan wajah orang yang berdiri di hadapannya. Tapi karena dia mengenakan masker, Jungwoo agak kesulitan mengenali wajah itu. Hanya saja, ia seperti mengenali mata itu.

"Nuguseyo?" Tanya Jungwoo sambil berusaha mengamati sosok yang ada di hadapannya. Hujan yang turun begitu deras menyulitkannya untuk tidak menutup mata.

Sosok itu tiba-tiba menyerang Jungwoo menggunakan tangan kanannya. Untung saja ia bisa menghindar. Jika tidak, tajamnya belati yang dipegang orang itu bisa mengenai wajahnya.

"Apa yang kau lakukan?" Tanya Jungwoo sambil berusaha menangkis serangan-serangan yang dilancarkan oleh orang itu.

"Kau harus mati!" Ucap orang itu yang membuat Jungwoo lengah. Suara yang begitu dikenalnya itu membuatnya terjebak. Ia terkena tendangan di bagian perutnya dengan keras.

"Kang Hyung Gu?" Tanya Jungwoo sambil memegangi perutnya yang sakit. Hyung Gu lagi-lagi menyerang pemuda itu dengan membabi buta. Jungwoo yang kelelahan lagi-lagi lengah, dan kesempatan itu dipakai oleh Hyung Gu untuk menerjang ke arahnya.

Saat Kang Hyung Gu berada tepat di hadapannya, Jungwoo diam tak bergerak dengan alis yang nyaris bertaut. Darah segar tiba-tiba terlihat menetes dari mulutnya. Netra pemuda itu memperhatikan ke bawah. Ia melihat tangan Hyung Gu berada di depan perutnya yang mengeluarkan darah.

"Kau sudah mengancurkan keluargaku, kau pantas mati!" Ucap Hyung Gu sambil mencabut benda tajam yang ada di perut sepupunya. Ia tersenyum sinis melihat Jungwoo yang berusaha menutupi perutnya yang mengeluarkan darah dengan tangan kirinya.

Hyung Gu meludah ke samping. Ia mendorong tubuh Jungwoo hingga terjatuh ke tanah lalu pergi meninggalkan tempat itu. Meninggalkan pemuda bergigi kelinci yang terkapar tak berdaya di bawah derasnya hujan.

Jungwoo berusaha sekuat tenaga untuk tetap sadar. Ia meraih ponsel yang ada di saku celananya dengan susah payah. Napasnya tersengal-sengal, rasa sakit yang ia rasakan benar-benar luar biasa sakit. Ia membuka ponsel itu dan menekan angka satu cukup lama untuk melakukan panggilan langsung tanpa melihat kontak dan menyalakan loudspeaker.

I'm Me, not Him! (Can I Hope? Book 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang