"Mwo?" Tanya Jungwoo dengan sangat terkejut.
"Aku sudah meminta orang-orangku untuk mengambil semua barang-barangmu yang ada di rumah kontrakan itu." Ucap Namjoon yang membuat Jungwoo mengerutkan keningnya.
"Ajeossi! Mengapa Ajeossi seenaknya saja masuk ke rumahku? Ajeossi tidak berhak..."
"Kau masih ingin tinggal di tempat itu? Apa kau tahu? Pemilik kontrakan selalu menaikkan harga sewa rumah yang kau tempati. Tiap kali jatuh tempo, kau harus membayar sewa dua kali lipat. Apa kau tidak sadar akan hal itu?" Tanya Namjoon kesal.
"LINGKUNGAN TEMPAT TINGGALMU ITU JUGA TIDAK SEHAT. KAU INGIN PREMAN-PREMAN ITU SELALU MENDATANGIMU? UANG, PONSEL, APALAGI YANG AKAN MEREKA AMBIL DARIMU? NYAWAMU?" Sentak Namjoon kencang. Jungwoo tak mampu mengucapkan apapun.
"M-mau bagaimana lagi. H-hanya itu tempat yang mau menerima keberadaan ku. A-aku tidak punya apa-apa."
"Neo! Apa kau masih belum sadar juga? Kau selalu menyebut dirimu tidak punya apa-apa. LIHAT SEKELILINGMU, JUNGWOO-YA! Mau sampai kapan kau bersikap seperti itu?" Namjoon menunjuk-nunjuk pemuda bergigi kelinci itu dengan sangat kesal.
"M-mengapa Ajeossi marah-marah?" Tanya Jungwoo dengan mata berkaca-kaca.
"Joon! Kendalikan emosimu!" Tegur Yoongi. "Kau sudah menghajar pemilik kontrakan itu semalam. Jangan kau lampiaskan kekesalanmu pada Jungwoo!"
Namjoon menendang bufet yang ada di samping meja makan. Ia benar-benar kesal. Bagaimana bisa Jungwoo memiliki sifat alami Jungkook? Anak itu benar-benar memiliki sifat mendiang adik bungsunya. Bagaimana bisa mereka sama-sama hanya menerima nasib yang mereka alami begitu saja? Namjoon tidak bisa terima itu. Ia benar-benar kesal.
Saat melihat Jungwoo, ia seolah-olah melihat Jungkook. Ia seperti melihat kembali apa yang selalu dialami mendiang bungsunya itu melalui pemuda itu. Ia benar-benar tidak sanggup.
Jungwoo menangis. Ekspresi yang ditunjukkan oleh Namjoon sebelum meninggalkan ruang tengah sangat menyakiti perasaannya.
"Jungwoo-ya!" Panggil Jimin sambil mendekat. Pemuda berusia 18 tahun itu mendongak.
"Kau tahu? Saat ini kau benar-benar menyebalkan. Kau tidak tahu apa yang sudah dilalui Namjoon Hyung demi mengeluarkanmu dari rumah sial itu."
"Aku tidak pernah meminta Ajeossi untuk melakukan itu! Aku..." Ucapan Jungwoo terhenti saat Jimin hendak memukul pemuda itu. Tapi gerakan tangannya terhenti saat Hoseok dan Taehyung memegangi tangannya. Jungwoo hanya bisa memejamkan mata menyadari apa yang akan terjadi pada dirinya.
"Tae, Hoseok! Bawa Jimin pergi dari sini. Biar aku dan Jin Hyung yang mengurus sisanya." Seru Yoongi yang langsung mendapat anggukan dari Hoseok dan Taehyung. Jimin sempat tidak mau dan berusaha memberontak, namun keduanya tidak membiarkan Jimin lepas begitu saja.
Yoongi menghela napas sementara Seokjin terus menatap Jungwoo. Pemuda yang memiliki rambut berwarna wine itu hanya bisa menundukkan kepalanya.
"Mianhae, Jungwoo-ya. Namjoon dan Jimin tidak bermaksud untuk marah padamu." Seru Seokjin sambil berdiri.
"A-ajeossi..." Panggil Jungwoo pelan. Seokjin menatapnya.
"A-Apa aku benar-benar menyebalkan?" Tanya pemuda itu dengan dahi berkerut. Seokjin mengusap-usap rambutnya pelan.
"Kau tidak menyebalkan, Jungwoo-ya. Hanya saja, sikapmu yang rendah diri benar-benar membuat kami semua tidak nyaman." Jawab Seokjin sambil menuju ke arah jendela. Ia bersandar di tembok dan menatap ke arah luar.
"Kau terlalu memandang rendah dirimu hingga tidak peduli pada apa yang terjadi. Kau membiarkan dirimu terluka karena beranggapan bahwa tidak akan ada yang menolongmu meskipun kau berusaha." Lanjut pemuda berbahu lebar itu. Kali ini matanya tertuju pada Jungwoo.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Me, not Him! (Can I Hope? Book 2)
FanfictionCan I Hope? Season 2 Setelah orang tuanya meninggal, Jeon Jungwoo hanya ingin dicintai dan diterima oleh orang-orang di sekelilingnya. Saat mengenal Seokjin, Yoongi, Namjoon, Hoseok, Jimin dan Taehyung, ia mengira bahwa Tuhan sudah berbaik hati men...