19

72 10 0
                                    

Kenneth terdiam sesaat di depan pintu wisma yang sekarang ditempati oleh Margaret. Ia menarik nafas sebelum mengetuk pintu tersebut dua kali. Sebenarnya, Kenneth bisa saja langsung masuk karena setiap jengkal dari Istana Dakota adalah rumahnya. Namun ia tak ingin menimbulkan kesan negatif di depan Margaret. Ia ingin menghormati permaisurinya tersebut sebagaimana mestinya.

Celah kecil terbuka dari sisi pintu yang sengaja diberi lubang untuk melihat siapa yang datang. Kenneth bisa melihat bahwa Margaret sendiri lah yang sedang menghampirinya. Tak butuh waktu lama, pintu terbuka dengan lebar. Margaret berdiri dengan ekspresi wajah tenangnya. Rambutnya disanggul dengan rapi, seakan sudah menebak kedatangan Kenneth malam itu. Ia memakai gaun putih yang sederhana, tetapi Kenneth yakin bahwa itu bukan gaun tidur. Untuk sesaat, Kenneth terpaku di depan Margaret. Wanita tersebut terlihat cantik sekalipun wajahnya dipenuhi memar.

"Masuklah, Yang Mulia." Ia memberi jalan kepada Kenneth untuk melangkah masuk sehingga lelaki itu segera sadar dari lamunannya. Kenneth melangkah masuk tanpa mengatakan apapun.

Kenneth sudah bisa menebak bahwa Mary pasti pergi menemui Margaret. Benar saja, gadis itu tidur dengan lelap di sofa yang berada di dekat perapian. Kenneth duduk di kursi kosong yang berada di seberangnya. Ia menatap Margaret yang sedang sibuk meracik teh. Suasana menjadi canggung untuk beberapa saat. Hanya ada keheningan yang menyelimuti mereka.

"Aku bertengkar dengan Mary tadi, salah paham kecil." Kenneth memutuskan untuk membuka suara lebih dulu. Tak seperti dugaannya, Margaret justru tersenyum disana.

"Bila diingat - ingat, dulu aku juga sering berselisih paham dengan ayahku. Aku juga sama seperti Mary. Dulu aku tinggal bersama ayahku di Wilayah Khusus Kediaman Raja. Bedanya, aku tidak bisa pergi kemana - mana bila ayahku memarahiku. Aku sangat kesal, tentu saja. Namun bila diingat - ingat lagi, itu sangat menggelikan." Margaret mengakhiri ceritanya dengan tawa ringan, membuat Kenneth ikut tertawa juga. Sudah lama sekali mereka tidak bercengkrama seperti ini.

Margaret membawa nampannya dengan hati - hati. Kenneth mengernyit sejenak. Hanya ada satu cangkir disana dan cangkir tersebut disajikan untuknya. Lelaki itu tak mengatakan apapun, ia masih memperhatikan Margaret yang sedang menuang teh sembari berpikir sendiri di dalam benaknya. Ia baru saja menyadari bahwa ada yang tidak biasa pada Margaret malam ini. Ya, rambut Margaret yang disanggul sempurna serta gaun putih sederhana yang ia pakai sekarang bukanlah sebuah kebetulan.

"Aku rasa kau sudah paham bahwa ada yang ingin ku bicarakan denganmu malam ini. Kau adalah pemerhati yang andal." Margaret membuka pembicaraan tersebut dengan tenang, seperti sudah sadar bahwa Kenneth memperhatikannya sejak tadi.

"Aku mendengarkan." Sahutnya cepat. Ia sama sekali tak menyentuh teh yang disajikan oleh Margaret barusan. Bukannya bangkit, Margaret justru berlutut di depan Kenneth. Lelaki itu segera menyingkirkan bantal - bantal kecil yang berada di sekitar kursi yang ditempatinya, berpikir Margaret mungkin merasa kursi tersebut kurang luas untuk mereka berdua. Namun ia salah. Margaret memang berniat berlutut di depannya. Wanita itu membuka suaranya saat Kenneth masih sibuk menyingkirkan bantal - bantal tersebut.

"Aku sudah memikirkan hal ini matang - matang. Aku tahu aku tidak bisa menyelamatkan semua hal."

Kenneth terdiam mendengar Margaret berkata demikian. Ia menoleh lalu menatap permaisurinya tersebut lekat - lekat. Margaret tak menatapnya. Ia menundukkan pandangannya, seperti orang asing yang sedang berbicara dengan seorang raja.

"Aku sudah mendengar perihal insiden pembunuhan salah satu anggota Dewan Kerajaan Godwhite. Menurut antek - antek Panglima Ansel yang berada di Godrech, hal tersebut bukan sebuah kebetulan bahwa orang yang terbunuh adalah salah satu orang Dakota kirimanmu dulu, Yang Mulia. Mereka memang ingin menghabisi semua anggota Dewan Kerajaan yang berasal dari Dakota, orang - orang berdarah Whitemouttier lebih tepatnya. Hal tersebut sangat mengganggu pikiranku." Ujarnya tenang, tetapi ada kesedihan mendalam yang tersirat dari sorot matanya.

THE DAYS : Season 1 - House of ChaosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang