19

1K 218 6
                                    

Cowok yang bersama Eli terlihat seperti ingin lekas kabur. Buktinya dia, tidak seperti sebelumnya, berusaha melepaskan tangan Eli. Setiap kali Eli minta gandengan tangan, maka cowok itu akan menepis. Selalu menepis hingga akhirnya berkata, “Aku baru inget ada janji penting.”

“Yaaaah kok mendadak gitu, sih?” Eli jelas kecewa. Lihat saja bibirnya yang berkerut mirip jeruk purut. “Nggak bisa ditunda?”

“Janji penting,” balas si cowok, kali ini melirikku, atau sesuatu di belakangku. Mana pun di antara dua kemungkinan itu, dia jelas tidak nyaman. “Mana mungkin aku berani.”

“Oke deh,” Eli pun menyanggupi, bersedia mengalah, “jangan lupa—”

Eli tidak sempat menyelesaikan omongannya. Cowok itu langsung lari, lari sekuat tenaga, persis orang dikejar anjing galak. Lari, jangan berhenti, lari.

[Dia merasakan bahaya.]

Atau dia tiba-tiba merasakan ancaman lain. Jenis ancaman yang tidak kuketahui.

[Kamu ingin memburunya?]

Motoku: pastikan ancaman musnah! Itulah yang akan kulakukan.

“Eli, aku baru ingat belum beli sabun!”

“Eh kenapa semua orang mendadak punya agenda darurat, sih? Sabun? Bohong! Kemarin aku tahu kamu belanja kebutuhan rumah sekantong! Shel! Shel, kamu mau ke mana?”

Tidak kupedulikan gerutuan Eli. Aku berlari mengikuti cowok yang keberadaannya makin terlihat mengecil di antara kerumunan manusia di jalan. Dia benar-benar kacau. Beberapa kali aku menangkap basah ia bertubrukan dengan satu dua pejalan kaki, tapi sama sekali bodoh amat dengan pelototan maupun makian. Edan!

Setelah melewati pertokoan, kemudian berlanjut ke suatu tempat yang sepertinya merupakan area hunian kaum elite.

Gedung-gedung pencakar langit dengan dinding tebal.

Akses ke sana berbeda jauh dengan tempat indekos milikku yang berbau pesing, jamur, dan kadang bangkai. Di sana sangat bersih.

Kupikir targetku akan masuk ke salah satu gedung. Ternyata dia terus berlari sampai kami setidaknya berada di kawasan sepi. Tepatnya, daerah gedung bekas bioskop. Kami masuk ke sana dan hidungku langsung dihantam aroma tengik.

[Ini jauh lebih baik daripada kota pertama yang kamu singgahi.]

Oh perkara menyembunyikan diri. Putih untungnya bersedia menggunakan kesaktiannya. Barangkali karena aku sering protes. Ya masa deh nyawaku sering terancam gara-gara ada pihak lain yang bisa mengendus keberadaanku? Minimal aku butuh alat penghilang hawa keberadaan. Nah alat itu bernama Putih! Dialah yang bertugas menyembunyikan keberadaanku dari musuh.

[Dia berhenti!]

Aku berusaha menyembunyikan diri di suatu celah antara sebatang pohon besar dengan tong sampah.

Okeeeeee saatnya mengaku. Aku sembunyi di balik tiga deret tong sampah. Bentuknya tidak mirip tong sama sekali. Terdiri dari tiga warna yang kuduga menjelaskan bahwa setiap sampah memiliki tempatnya sendiri ... eh, itu nggak penting.

Vampir yang kukuntit berhenti tepat di bawah naungan lampu yang sinarnya lemah. Anggap saja dia sedang berpose keren ala karakter dalam serial manga cowok. Biasanya dalam adegan semacam ini dia akan berkata, “Aku tahu kamu mengikutiku.”

“...” Dia sungguh bicara seperti itu. Namun, jangan panik. Lebih baik aku tetap sembunyi dulu. Mana mungkin kesaktian makhluk sekelas Putih semudah itu terkuak? Kalau begitu aku minta ganti rugi atas kepercayaan selama ini!

[Aku memang hebat atas pekerjaanku!]

Kuabaikan protes Putih, fokus ke incaran.

Cowok itu berbalik, perlahan, dan menatap sesuatu yang ada di pohon. Tepatnya, pohon paling besar yang ada di sini. Di bekas area terasingkan dari keramaian manusia.

ALL OF THEM WANT TO KILL HER (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang