Kematian. Kata itu paling tepat menggambarkan makhluk yang tengah terbelenggu dalam penjara. Si penantang boleh saja merasa kuat, tapi sebaiknya dia pahami bahwa apa pun nama makhluk yang terlihat berada pada posisi “lemah” itu sebenarnya sangat kuat.
Perwujudan makhluk itu menyerupai hewan berkaki empat. Dia memiliki tubuh kurus, sangat kurus, sampai orang bisa saja salah sangka makhluk itu kurang makan. Badannya diselimuti oleh bulu-bulu berwarna keemasan. Wajah si makhluk seperti gabungan celeng dan monyet. Ekornya bergerak lemas ke kanan dan kiri. Layar yang terpasang di atas arena maupun di sekeliling hadirin menampilkan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan dari si makhluk. Mungkin saja dia sedang berpikir mengenai liburan ke pulau tropis.
“Kalahkan! Kalahkan! Kalahkan!”
Si manusia berada pada posisi siap. Seruan penonton terdengar berkumandang, begitu membakar, dan menyemangati si manusia agar lekas menghabisi makhluk tersebut.
Tidak ada peraturan khusus dalam pertempuran di atas ring. Hukumnya cuma satu: lekas bunuh. Itulah yang pria itu lakukan. Dia menerjang, bergegas mengurangi jarak, dan siap menghantamkan pukulan mematikan.
[Dasar bodoh. Satu-satunya yang akan dia dapatkan hanya kekalahan. Mati konyol.]
Sesuai dengan komentar Putih, makhluk tersebut mengayunkan ekor, menjerat kaki si pria dan tanpa ampun membantingnya seperti boneka rusak. Berkali-kali dia membanting si manusia seolah sekali saja tidak cukup. Hanya ketika bentuk manusia itu berubah menjadi “rongsokan manusia berdarah” barulah dia bersedia melepas tubuh tak bernyawa tersebut.
Penonton hanya ber-huuuuu seolah kematian satu manusia di atas arena tempur itu tidaklah tragis. Mereka justru semakin terbakar menuntut pertempuran lainnya. Kalian butuh setan? Aku persembahkan para penonton. Terima kasih.
[Manusia memang unik, ya? Era mana pun tetap memproduksi jenis semacam ini. Haus darah dan gila.]
Kata seseorang yang menyuruhku berlatih bela diri dan mengikuti aksi “tawarkan nyawamu kepada uang”. Haha aku tidak mau menerima omongan si Putih. Dia tidak tahu saja posisiku juga sama tidak bagusnya dengan pejuang uang mana pun.
Beberapa petugas bersenjatakan tongkat kejut naik ke panggung. Mereka memojokkan si makhluk, yang mulai mendesis, agar kembali ke kandang.
Cara tersebut cukup ampun menyuruh si makhluk agar patuh. Lagi pula, sebenarnya bukan tongkat kejut yang membuat makhluk itu takluk.
Bukan tongkat kejut, melainkan sesuatu berbentuk kotak mungil yang dibawa oleh salah satu petugas. Kuduga alat tersebut berfungsi sebagai lingkaran emas penenang yang dimiliki oleh Kera Sakti. Bedanya? Yang satu pakai mantra, sementara yang ini tinggal pencet.
Pembawa acara pun naik setelah monster dan petugas lenyap dari panggung. “Ada penantang lain?”
Haha siapa yang mau ikut melawan monster, sih? Orang sinting!
[Ayo, maju.]
Oh sialan! Orang sinting itu adalah aku.
“Siapa yang siap menjemput uang?!”
Aku melangkah mendekati arena, mengangkat tangan, dan berusaha menarik perhatian si pembawa acara. Pada awalnya dia sepertinya berusaha menahan diri tidak menertawakan kostumku, tapi akhirnya profesionalitaslah yang menang. Dia menyuruhku naik dan mulai melakukan aksi wawancara singkat sebelum menjemput ajal.
“Nama?”
“Beruk Sakti,” jawabku sembari pura-pura tidak terlihat aneh.
Semua penonton menertawakan tampilanku, hanya si pembawa acara saja yang berusaha terlihat santai. Aku bisa melihat tampilanku terpampang di semua layar. Nah itu dia! Itu dia si Beruk Sakti! Siap menghancurkan lawan dengan sekali pukul. Mantaaaap!
KAMU SEDANG MEMBACA
ALL OF THEM WANT TO KILL HER (Tamat)
FantasyKenapa sih orang-orang tertarik isekai ke novel, film, komik, atau dimensi mana pun? Seolah pindah dunia itu semudah pindah kontrakan yang kalau tidak cocok bisa mengajukan keluhan ke empunya indekos. Berharap bisa disukai oleh semua tokoh ganteng d...