Usai bekerja, tepatnya pada pukul empat sore, aku menemui Riu di taman. Persetan ada karakter gila, penjahat, yang mendadak muncul kemudian merebut barang berharga. Aku akan langsung kabur, bila terdesak, atau kulempar Putih sebagai umpan karena dia seringnya muncul di saat terakhir.
Cuaca mulai memasuki bulan-bulan dingin. Beberapa pohon di taman yang biasanya hijau segar pun kini berubah warna menjadi kuning keemasan atau cokelat tua. Rumput-rumput mulai menipis dan sepertinya mempersiapkan diri dalam tidur panjang.
Di meja yang sama, meja jamur, di bawah naungan pohon yang kini mendadak seperti manusia kena asma sebab kulihat cabang dan rantingnya tidak lagi dihiasi dedaunan semerbak dan bunganya. Di sanalah kami, aku dan Riu, bertemu.
Tidak sepertiku yang mengenakan kaus, jaket obralan, jins sobek di area lutut dan paha, kemudian sepatu tali—Riu terlihat keren. Dia mengenakan jas panjang, kaus turtleneck, dan jins mahal. Kemarin dia membawakanku paket makanan sehat, sekarang di meja ada semangkuk mi sayur. Mi sayur sehat yang mengeluarkan uap beraroma rempah. Di samping mi sehat ada segelas jus hijau yang kuduga terbuat dari bermacam sayur.
“Kalau kamu ikut ke markas,” ia menawarkan, “ada banyak makanan sehat yang bisa kamu nikmati.”
“Setelah itu kalian akan menyataiku.”
“Kami selalu tepat janji. Kamu nggak akan rugi apa pun. Bukankah kamu membutuhkan tempat persembunyian dari vampir dan kawananmu?”
“Nanti dulu,” aku menolak. “Bila ada seregu manusia gila yang mengejarku, akan kupertimbangkan kos di tempatmu. Bolehkah gratis? Sebab aku nggak suka kerja buat kalian dan masih harus membayar uang sewa dan makan.”
[Nak, aku tidak bangga denganmu.]
Masa bodoh dengan Putih! Dia tidak tahu saja betapa beratnya menjadi manusia. Huh!
Riu meletakkan beberapa lembar kertas. Di sana tertulis sesuatu yang bagiku menyerupai kumpulan puisi. “Apa kamu menyuruhku mendeklamasikan sajak?”
“Kamu bisa membacanya?”
“Ya maksudmu? Aku, kan, nggak buta huruf.”
“Semua tulisan yang tercetak di sana menggunakan aksara lawas, zaman sekarang nggak ada yang bisa baca huruf-huruf semacam itu tanpa bimbingan orang ahli.”
Apanya? Bagiku semua yang ada di sana tertulis dalam huruf-huruf yang kukenali. Nggak ada yang aneh. Gawat nih. Mataku bermasalah.
[Sayang, matamu sehat. Memang keturunan Bulan Darah bisa membaca aksara lawas tanpa bimbingan siapa pun. Sudah mengalir dalam darah mereka.]
Oh begitu? Kok rasanya keren sekaligus mengerikan, ya?
[Lebih menyeramkan menu makan versimu yang terdiri dari keripik dengan garam berlebih, minuman mengandung gula, dan makanan berpengawet.]
Cih sejauh ini tubuhku baik-baik saja dan Putih mulai cerewet mirip nenek-nenek ... atau kakek-kakek.
“Kamu paham intruksi yang tertulis di sana?”
Atas permintaan Riu, aku pun mencoba membaca lembar yang lain. “Kamu bawa bahannya?”
Dia menggeleng. “Tidak aman. Kamu sebaiknya ikut kami. Kujamin setidaknya kamu nggak perlu mencemaskan tempat tidur, kebersihan, dan makanan.”
“Entar dulu deh. Takutnya aku disetrum pakai listrik sekian voltase.”
“Dasar pendendam,” sindirnya sembari terkekeh.
“Ya kamu pikir? Aku cuma ingin kerja, cari uang, kemudian kamu muncul dan mengancamku dengan listrik. Kamu pikir aku Zeus atau Thor yang bisa menguasai listrik? Nggak sekalian kamu suruh aku menghantamkan martir sakti sebagai wujud persatuan?”
![](https://img.wattpad.com/cover/355281464-288-k754878.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ALL OF THEM WANT TO KILL HER (Tamat)
FantasiKenapa sih orang-orang tertarik isekai ke novel, film, komik, atau dimensi mana pun? Seolah pindah dunia itu semudah pindah kontrakan yang kalau tidak cocok bisa mengajukan keluhan ke empunya indekos. Berharap bisa disukai oleh semua tokoh ganteng d...