10

1.3K 315 6
                                    

Menjual perhiasan, yang jumlahnya tidak ada habisnya dan bernilai jutaan lebih, bukan penyelesaian masalah. Perhiasan yang beredar di pasaran, perhiasan Putih, akan menarik perhatian orang-orang yang tidak kuinginkan. Maka, aku pun mengusulkan mencari pekerjaan.

Tidak perlu pekerjaan dengan gaji sekian dijit. Lagi pula, aku masih punya cadangan uang hasil penjualan yang baru kulakukan. Aku hanya butuh sumber dana lain dan aktivitas baru.

Pilihan pekerjaan pun jatuh ke warung! Keren sekali ideku.

Oke, mengapa warung?

Akan kujelaskan secara bertahap agar ide dan alasanku terdengar masuk akal.

Pertama, di warung tidak membutuhkan ijazah. Asal orang yang melamar pekerjaan memenuhi kriteria pemilik warung, itu saja cukup. Dengan begini aku tidak perlu mencemaskan kemungkinan identitas palsuku terendus polisi. Jaga-jaga. Jangan sampai identitas palsuku justru mengantarku ke mulut harimau. Amit-amit deh.

Kedua, menjauhi sumber masalah. Tahu, ‘kan? Maksudku, vampir dan pembasmi vampir dalam film, komik, bahkan novel sekalipun pasti nongol di tempat beken; keren dan menantang. Contohnya gampang saja. Klub, hotel, restoran, jalanan bergengsi, sekolah yaaaah pokoknya yang begitu deh. Jarang, kan, vampir nongol di warung? Apalagi warung pinggiran yang pemiliknya hobi memperdengarkan lagu goyang pinggul. Aman deh posisiku. Dengan begitu, aku takkan waswas membayangkan ada vampir maupun pemburunya yang tiba-tiba mengacaukan usahaku mencari uang.

Ketiga, latihan. Kerja di warung, menurut Putih, akan melatih otot dan staminaku. Pekerjaanku berhubungan dengan mengupas sayur, cuci piring, mengantar makanan, dan kadang harus mengayuh sepeda untuk mengantar pesanan. Iya, warungnya cukup modern kok. Bukan yang hanya melayani pesan di tempat, melainkan juga pesanan rumahan.

Keempat, informasi. Gosip bapak-bapak maupun pekerja kerah biru yang mampir di warung cukup ampuh memenuhi lubang-lubang ketidaktahuan milikku. Sekalipun aku jauh dari Bulan Darah dan kemungkinan akan bertemu salah satu musuh klan ... hmmm lebih baik kumpulkan informasi. Kenali musuhmu, kenali lawanmu, kenali diri sendiri.

Dua minggu aku resmi menjadi bagian dari warung yang menu utamanya berupa mi pedas. Bermacam mi, sebenarnya. Mi kuah kuning, mi jamur, mi asam manis, mi kecap, mi goreng, mi ayam, mi dengan kaldu sapi ... pokoknya mi. Selain mi tersedia juga gorengan, menu nasi, lauk aneka rasa, dan aku tidak keberatan jadi tukang icip.

Ada beberapa orang yang bekerja di sana. Rata-rata mereka tidak sekolah sampai SMA atau tidak sekolah sama sekali. Di dunia ini pendidikan tidak dijamin oleh pemerintah. Orang ingin menempuh gelar akademisi haruslah berduit tebal. Demo? Menuntut hak? Lupakan. Bisa-bisa orang yang demo justru ditemukan mengambang di kali maupun kanal. Hal semacam itu sudah menjadi suatu hal biasa di sini, di dunia novel.

Perlahan kemampuanku dalam bergerak pun semakin tangkas. Latihan mengayuh sepeda dan mengambil sayuran dari pasar ternyata sangat efektif!

[Kamu sangat menikmati kehidupan sebagai pekerja, ya?]

“Nggak selalu,” jawabku sembari memarkir sepeda di samping warung. Aku baru saja mengantar pesanan ke salah satu toko kelontong. Pemiliknya memberiku uang tambahan. Lumayaaaan. “Manusia butuh rutinitas. Tanpa rutinitas kewarasan manusia bisa terancam.”

[Kalian, manusia, terlalu mencemaskan hal yang sebaiknya tidak perlu dipikirkan oleh kalian. Hidup ini seharusnya seperti air, mengalir melewati batu, mengalir menembus tanah, dan pada akhirnya tetap bermuara ke tujuan.]

“Jangan bicara filosofi deh. Aku nggak tertarik membahas eksistensisme, absurdisme, bahkan ilmu mengenai Zen sekalipun.”

Warung tampak ramai. Ada bermacam orang yang sedang menikmati makanan. Rekan kerjaku sibuk mengantar pesanan di meja siapa pun. Kutengok jam dinding. Waktu menunjukkan pukul satu siang. Waktu makan bagi para pekerja.

Akan tetapi, di sudut ruangan ada dua orang lelaki yang sedang bersitegang. Entah apa yang mengawali keributan di antara mereka, yang jelas tiba-tiba saja salah satu dari mereka mengangkat kursi dan menghantamkannya ke lawan.

Seseorang berteriak. Semua orang tidak ada yang berani mendekat sekadar melerai perkelahian. Si lelaki sepertinya terpengaruh minuman keras karena kulihat ada botol berisi cairan yang menyebabkan seseorang hilang akal.

“Kenapa ada orang minum di cuaca panas sih? Apa nggak takut kena penyakit?”

[Ayo, lakukan sesuatu. Kamu nggak boleh diam saja.]

Aku berderap, mendekat, dan menarik menghadiahi tendangan di salah satu lutut si penyerang. Lelaki itu langsung tersungkur, menghantam meja, dan perlahan berbalik—berusaha mengecek gerangan si penyerang.

Tentu saja aku tidak bersedia menunggu. Aku mengambil ancang-ancang, setelahnya meloncat, dan menerjang bahu lelaki itu. “Kalian ambil tali!”

Rekanku berhasil menghadiahiku seutas tali. Si lelaki mulai bangkit, tapi aku meraih nampan dan menghantamkannya ke kepala lelaki itu. Dia kali ini terjerembap. Langsung saja kuletakkan nampan, yang ada di meja terdekat, di atas kepalanya dan kugunakan sebagai alas duduk.

“Cepat ikat!” teriakku kepada sekutuku. “Jangan biarkan dia bebas! Nanti para pemabuk jadi kebiasaan, minum dan mengamuk sesuka hati!”

Mendadak semua orang langsung mengulurkan pertolongan. Mereka membantuku mengamankan lelaki itu. Seseorang menelepon polisi dan beberapa saat kemudian lelaki itu pun digelandang ke mobil.

Sialnya aku tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa aku juga akan ikut ke kantor polisi sebagai saksi.

[Kamu bisa berlatih cara berinteraksi dengan orang.]

Entah berapa menit aku bicara sampai mulut berbusa. Begitu keluar dari kantor, aku merasa bebas dan merdeka. Setidaknya kantor polisi di dunia ini mirip kantor di drama Korea. Sejuk. Dingin.

Baru saja aku berniat meninggalkan ruangan, tapi insting dalam diriku langsung siaga. Di lobi aku melihat sosok yang tidak asing. Sekalipun kejadian waktu itu malam, tapi aku bisa mengenali sosoknya dalam cuaca apa pun!

Cowok yang mengejarku di atap ... dia bersama seorang polisi berpakaian preman!

Mereka berdua sedang bercakap. Sepertinya membahas sesuatu yang penting. Samar-samar kudengar sesuatu mengenai mayat dan hotel. Inilah salah satu bonus kekuatan Putih. Iyaaa, mencuri dengar dengan tingkat kejelasan minus!

[Kamu butuh latihan, Nak.]

Dasar pelit!

Dalam hati aku berdoa, semoga cowok itu tidak mengenaliku. Aku tidak peduli fakta bahwa dia tampan dan tipe cowok yang akan membuat lutut cewek goyah. Masa bodoh! Lagi pula, dia berniat mencincangku! Bisa kurasakan lewat caranya mengintimidasiku pada waktu itu! Sial.

Aku ingin keluar, tapi malas bila harus melewati dia! Notabene, jalur keluar harus melewati mereka!

[Lihat, ada orang yang akan keluar. Cepat ikuti dia.]

Oke! Aku pun mematuhi intruksi dari Putih. Dua orang pria berbadan besar, sepertinya polisi sih, bicara mengenai menu makan malam. Dengan percaya diri aku mengekor di belakang mereka seolah diriku merupakan bagian penting dari eksistensi mereka.

Poin penting, jangan menoleh ke arah musuh. Itulah yang kulakukan. Aku berjalan santai, melewati mereka, dan langsung menuju pintu.

Sedikit lagi....

“Tunggu!”

Berhenti? Nggak dong! Aku memilih meneruskan langkah menuju kebebasan. Namun, dasar orang nggak punya etika! Ada tangan yang mencengkeram bahuku, mengehentikanku, dan mau tidak mau menghambat kegiatanku.

“Tunggu,” katanya dengan nada suara memperingatkan.

“Hei!” teriak polisi yang diajak si cowok bicara. “Kamu nggak bisa menggangu sipil!”

‘Dengarkan dia dasar kamu bajing**!’ teriakku dalam hati.

***
Selesai ditulis pada 15 November 2023.

***
Sewaktu saya nulis ini hujan sedang turun sangat deras. Asli dingin banget cuacanya. Namun, nggak masalah. Saya suka dingin. Cuaca panas bikin saya pusing.

Kalian jangan lupa jaga kesehataaaaan.

Salam cinta dan kasih sayang.

LOVE.

ALL OF THEM WANT TO KILL HER (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang