33

841 145 7
                                    

[Mereka berdatangan.]

Tabir buatan Putih jauh lebih bagus daripada milikku. Apa pun yang berencana mampir memberi salam kepadaku langsung mental, tidak sanggup membentur pelindung.

Makhluk-makhluk aneh itu muncul seperti serangga yang ingin menghabiskan padi. Burung api berusaha membakar mereka, tidak peduli jumlah yang datang makin bertambah. Bahkan api membara pun bisa padam kehilangan panas.

Langit seolah bergolak, hendak memuntahkan apa pun yang tersembunyi di balik lipatan tersebut. Terlalu banyak monster. Putih pun mungkin akan sama kewalahannya denganku andai disuruh membantai mereka semua.

“Lihatlah,” kata Riu sembari menunjuk burung api yang makin tenggelam dalam lautan monster, “sebentar lagi akan berakhir.”

Belum sempat aku memberi komentar, dari rekahan yang sama kulihat kemunculan si vampir menawan. Dia tidak mengendarai apa pun. Melayang.

“Putih, tolong beri tahu aku ilmu meringankan tubuh.” Komentarku disambut dengusan sinis. Sama sekali tidak membantu membangun semangat dalam tubuh yang bisa saja mati kapan pun ini. “Lagi pula, aku mungkin sekarat, nih.”

[Kamu bisa bertahan.]

“Enggak,” aku mendebat Putih, “walau terlihat menyedihkan, seenggaknya aku tahu batas kemampuanku.”

Hanya karena semangat menyaksikan nasib si burung api saja yang membantuku tetap bertahan hidup. Sampai detik ini. Kulihat Fionn, si vampir menawan, mendekati burung api. Aku tidak tahu omongan antara si burung dan vampir. Tidak terdengar dari jarak sejauh itu.

Kutekan lukaku, keringat dingin membanjir ke seluruh tubuh. “Aku nggak sanggup,” ucapku mengakui kelemahan.

Tubuhku rubuh. Riu membantuku bertahan dan dia berkata, “Kita harus pergi.”

“Nggak bisa,” kataku semakin lemah. “Lihat kotanya. Berantakan. Nggak ada kendaraan. Ponselmu pasti rusak, ‘kan?”

[Api gadis itu beracun untukmu.]

Makasih. Senang bisa mengetahui penyebab diriku sekarat. Terima kasih banyak.

Samar-samar kusaksikan burung api itu menjerit, berusaha membebaskan diri dari cengkeraman tangan-tangan monster. Dia tidak mampu melawan saat Fionn langsung menghunjamkan seluruh tangannya, tangan kanan, ke tubuh; menembus lapisan bulu, menghancurkan rongga dada, dan kutebak jantung burung api pasti remuk dalam genggaman tangan Fionn.

Api meretih. Burung api kehilangan cahaya. Dia seperti Supernova yang jatuh. Perlahan seluruh api membakar si burung api sampai tidak tersisa apa pun dari pandangan kami.

“Kita harus pergi,” Riu menuntut. “Bukankah dia berarti bagimu?”

Putih tidak menjawab. Dia merentangkan sayapnya, berusaha melingkupiku ... atau memberiku kehangatan.

[Maaf. Racun ini tidak bisa kusembuhkan.]

Aku tidak keberatan mati. Hanya saja bukan begini. Setidaknya tolong biarkan aku menikmati masa-masa indah sebagai manusia.

Napasku makin berat. Rasa-rasanya dadaku dibebani batu. Banyak batu hingga seluruh daya hidup milikku pun terserap habis.

Kulihat Fionn turun. Dia tampak seperti malaikat maut. Barangkali maut milikku. Ia tidak kesulitan masuk ke dalam tabir. Dia mengamatiku dan berkata, “Aku hanya mengambil bayaran.”

Tangan Riu makin mengencang di sekitar tubuhku. “Enyah!”

Listrik mulai meretih. Mungkin energi itu mewakili perasaan Riu.

“Makhluk yang datang kali ini,” Fionn menjelaskan tanpa diminta. “Merupakan warga Bulan Darah. Mereka orang-orang yang diserahkan kepadaku. Orang-orang yang kuubah. Sebagian dari mereka telah menghabisi siapa pun yang bersalah terhadap hidupnya. Begitu matahari muncul, mereka akan binasa.”

ALL OF THEM WANT TO KILL HER (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang