16

1.1K 261 20
                                    

WARNING: Mengandung konten kurang menyenangkan, kesedihan. Tolong persiapkan hati kalian.

***

“Apa yang sebenarnya kamu rencanakan, Tuan Pembunuh?”

Aku tahu bahwa seorang manusia, terutama cowok tukang setrum, bisa saja sangat nggak tahu diri. Superkurangajarbanget! Kupikir setelah diusir Eli, diancam dengan gosip tetanggaku, dan segala rencana jahatku ... dia akan menyerah.

Ternyata tidak! Dia, entah siapa namanya dan aku nggak ingin tahu, justru datang ke warung. Bukan sekadar mampir beli gorengan sebiji, melainkan memborong semua dagangan. Alhasil bosku pun menyambut baik kehadiran cowok berbaju parlente norak itu dan membiarkannya mengajakku menyepi ke taman.

Taman tempat orang pacaran.

Nggak banget! Sangat tidak keren!

[Setidaknya dia membelikanmu sekotak makan siang sehat. Jangan dibuang, ya! Makan!]

Si Putih tidak berpihak kepadaku. Dia sepertinya hanya peduli pada menu makan siangku. Di pangkuanku ada sekotak bekal makanan sehat. Nasi, tumis daging sapi dan sayur, acar. Oh dia bahkan memberiku sekotak buah. Buah yang sudah dikupas dan dipotong rapi oleh seseorang.

[Makan! Akhirnya kamu bisa makan menu yang benar!]

Dengan enggan kumakan menu makan siang itu. Aku tidak mau otakku meleleh karena Putih terus berkoar mengenai kesehatanku. Terus terang aku tidak peduli pada dampak makanan yang masuk ke tubuh. Di kehidupan ini maupun sebelumnya, fisikku lumayan tangguh.

“Mengenai pertemuan kita yang lalu,” katanya membuka pembicaraan. “Aku minta maaf.”

“Maaf karena gagal membunuhku,” sahutku, enteng.

[Makan sayurnya! Hei jangan sisihkan sayurnya!]

Sialan si Putih. Padahal aku berencana mengabaikan tomat dan lobak, tetapi dia mengganggu kesenanganku! Terpaksa kusendok sayur dan memaksanya masuk mulut. Kunyah. Telan!

“Mengapa setiap kata yang terucap dari mulutmu begitu tajam, Bocah?”

“Latihan,” jawabku sembari menandaskan sisa sayur.

“Begini ... yang terjadi malam itu merupakan kesalahan. Saat itu aku hanya ingin sedikit menguji kemampuanmu.”

“Leluconmu amat berbahaya. Apa kamu memang punya hobi mendorong seseorang ke jurang dan menyuruhnya melakukan aksi bunuh diri?”

“Kamu masih hidup,” ia menambahkan, “dan sehat.”

“Jiwa dan pikiranku nggak sehat. Asal tahu saja aku mengalami mimpi buruk dikejar sekelompok cowok bersenjatakan parang. Mereka tidak mau berhenti. Terus mengejar sampai aku memutuskan meloncat ke sungai.”

[Kamu bohong. Aku bisa melihat mimpimu dan kamu tidak pernah bermimpi beberapa hari ini.]

Tunggu.... Apa tadi Putih bilang dia bisa melihat mimpiku? Bila dia bisa melihat mimpiku, itu berarti kemungkinan dia juga bisa membaca pikiranku. Oh.... OH!

“Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu.”

“Nanti,” aku menolak, “sekarang aku perlu melakukan sesuatu. Besok saja kamu datang ke warung dan kita selesaikan pembicaraan di sana.”

Aku meninggalkan cowok itu dan langsung berlari. Kuabaikan debar jantung yang menggedor rongga dada. Rasa-rasanya kepalaku berputar dan aku kesulitan membedakan orang-orang yang berlalu di sekitarku.

Hanya ketika aku sampai di indekos, barulah aku bisa bernapas dengan lega.

“Katakan, Putih,” aku menuntut, “apa kamu bisa membaca pikiranku? Semua pikiranku termasuk memori?”

ALL OF THEM WANT TO KILL HER (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang