GABRIEL || 37

5.2K 342 248
                                    

Happy Reading
.
.
.

Selamat membaca 🤗🤗🤗

----------

Gabriel terbangun dari tidurnya. Dia duduk dan menatap jam di-nakas. Pukul 9 malam. Dengan badan lemas Gabriel turun dari kasur dan berjalan menuju pintu.

Apa kabar dengan putranya? Apa Gavan baik-baik saja? Pikiran cowok yang memakai baju pasien itu langsung penuh memikirkan keadaan Gavan. Kendati kepalanya pening luar biasa serta badannya sedikit panas. Mungkin sebentar lagi dia demam.

Kedua kaki telanjang itu berhenti didepan kamar bernomor 311. Suasana lorong di Rumah Sakit itu tampak sepi ketika Gabriel membuka pelan pintu kamar Gavan.

Gabriel terpaku, buah hatinya tidur tenang dengan bibir tertutup rapat. Wajahnya sangat damai. Persis seperti Gabriel. Namun hal itu justru membuat Gabriel takut.

Cowok dengan potongan rambut kesamping itu melangkah masuk dan menutup pintu. Gabriel berjalan pelan lalu mengulurkan punggung jari telunjuknya ke hidung Gavan, memastikan anaknya masih bernapas atau tidak.

Gabriel memejamkan matanya lega saat merasakan hembusan udara itu. Papa muda itu tersenyum tipis, diusapnya kepala putranya yang sudah botak karena penyakitnya. Pertama kali Gabriel melihat Gavan, rambut putranya itu warna coklat. Sama dengan miliknya. Tebal dan sangat halus.

"Gavan.. Gavan sayang Ayah kan, nak? Gavan pernah bilang sama Ayah, kalau Gavan mau kayak Ayah yang punya banyak teman. Punya tato besar kayak punya Ayah. Pengen motor gede kayak punya Ayah. Gavan mau kayak Ayah 'kan? Makanya itu.." Gabriel mendekatkan bibirnya ketelinga putra kecilnya lalu berbisik lembut. "Ayah mohon, Gavan harus sembuh. Apapun yang dibilang dokter kamu udah ga bisa sembuh lagi, jangan percaya dia. Percayanya sama Tuhan. Tiada yang mustahil bagi Tuhan."

Sebelum menjauhkan wajahnya Gabriel mencium kening Gavan.

"Selamat tidur pangeran Ayah."

Setelah itu Gabriel keluar dari kamar Gavan. Cowok itu terdiam didepan pintu sebelum berjalan menuju kamarnya. Dia memakai jaket hoodie hitamnya yang selalu tersedia serta memakai sendal jepit hitam. Gabriel mengambil kunci mobil dinakas sebelum keluar dari kamar.

Pikiran Gabriel penuh hingga membawa mobilnya tanpa tujuan. Entah berapa lama keliling Jakarta, tepat pukul 12 malam lebih 3 menit, mobil Gabriel berhenti disebuah taman kecil. Cowok itu keluar, berjalan menuju taman lalu duduk dikursi panjang.

Gabriel mendongak menatap bintang yang bertaburan banyak di langit. Diantara banyaknya bintang itu ada satu bintang yang sinarnya paling indah dari yang lain. Padahal bintang itu kecil. Entah kenapa Gabriel membayangkan bintang kecil itu Gavan.

Ucapan dokter terus terngiang didalam kepala Gabriel. Dia ingin tidak percaya karena umur manusia itu ada di tangan Tuhan. Namun, mengingat penyakit Gavan berada di stadium akhir membuat Gabriel ragu.

Banyak yang meninggal setelah memasuki stadium akhir. Jarang mereka bertahan hidup. Bagaimana pun proses pengobatannya jika sudah di tahap akhir pada akhirnya tetap meninggal. Karena penyakit itu sudah menguasai seluruh organ tubuh.

Gabriel memejamkan matanya, ia mengernyit saat pusing tiba-tiba melanda. Awalnya sakit biasa hingga akhirnya sakit itu terasa kuat membuat Gabriel mengerang kesakitan sambil menjambak rambutnya.

Gabriel bahkan sampai jatuh dan berbaring di rumput saat ia tidak bisa menahan rasa sakit itu. Cowok itu meringkuk dengan tangan masih menjambak rambutnya. Dia diam di posisinya hingga kemudian rasa sakit itu perlahan hilang.

Gabriel mengubah posisi tidurnya menjadi telentang. Dia menatap bintang kecil yang masih bersinar itu dengan tangan kanan sebagai bantalan dan tangan kiri berada diatas perutnya.

GABRIELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang