Happy Reading
.
.
.Selamat membaca 🤗🤗🤗
-----------
Meletakkan sebuah bunga untuk makam terakhir, Gabriel berjongkok mengelus nama dikayu salib.
"Apa kabar bang? Lo baik-baik aja 'kan disana?" Gabriel tersenyum, dia mencabuti rumput kecil yang tumbuh dikuburan itu.
"Gue mau cerita kalo gue belum iklas lo semua ninggalin gue. Gue masih gak terima lo pergi jauh ninggalin gue."
"Lo bilang lo bakalan benci sama gue kalo gue nyakitin Melody 'kan? Lo orang pertama yang bakal maju buat hajar gue kalo gue buat Melody nangis. Sekarang lo harus benci sama gue. Gue udah nyakitin dia, gue hancurin hidup dia. Sekarang hajar gue bang, hajar! Gue pantes dapetin itu! Gue udah nyakitin dia.." lagi dan lagi Gabriel menangis untuk kesekian kalinya untuk hari ini. Dia tidak akan pernah bosan mengeluarkan airmata pertanda dia menyesali perbuatannya.
"Gue..." menggigit bibirnya yang bergetar, Gabriel memalingkan muka dan memejamkan matanya. Dia menikmati air yang keluar dari matanya dan jantungnya serasa ditarik paksa untuk keluar.
Demi apapun Gabriel menyesal, sungguh amat nyesal dengan apa yang sudah dia lakukan. Dia menghancurkan hidup wanita yang sangat dia cintai. Tuhan memberikan dia kesempatan untuk menjaga wanitanya, tapi janjinya pada Tuhan untuk menjaga wanita itu dia ingkar hingga kemudian wanitanya meminta cerai dan pergi menjauh.
Satu bulan lamanya Melody meninggalkan Gabriel. Satu bulan pula Gabriel mencari Melody tapi nihil. Wanita itu tidak dapat ditemukan dimana pun
Gabriel kembali menatap makam sahabatnya, menatap tepat pada nama yang bertuliskan Theo Lorenzo.
"Kalau gue bisa memilih mending gue mati aja. Gue udah ga tahan. Gue dijauhi semua orang. Gue sendirian sekarang, bang. Gue ga tau mau ngeluh kemana lagi. Teman-teman kita udah jauhin gue. Gue tau kok gue salah, tapi apa harus kayak gini?" Gabriel yang sedang menangis lirih mengusap airmatanya. "Gue nyesel bang, nyesel banget. Tapi gue udah minta maaf." Gabriel berucap dengan bibir bergetar.
"Boleh ga sih sampe sini aja gue berjuang? Bukannya gue ga mau nyari Melody sampe dapat. Tapi mungkin ini udah takdir gue. Melody bukan jodoh gue. Lebih baik dia sama yang lain ketimbang sama gue kesiksa terus." Gabriel menatap tangannya yang kian kurus dan sedikit pucat. "Gue udah kayak mayat hidup. Gue udah ga sanggup ngadepin ini semua. Lebih baik gue nyerah."
"Lo mau bundir?"
Suara itu membuat Gabriel mematung sesaat, dia berharap orang itu salah satu sahabatnya. Tapi ternyata, saat orang itu berjongkok disebelahnya senyum samar Gabriel langsung surut saat bukan orang yang diharapkan.
Izal, teman sekelas Gabriel tersenyum merangkul pundak sahabatnya.
"Hidup lo masih panjang, bro. Banyak yang harus lo jalanin. Masa depan lo ada, tinggal nunggu lo untuk raih dia. Kalo lo mau mending lo ikut gue ke LA. Gue mau pindah kesana ikut ortu yang udah pergi duluan. Gimana?" Izal memberi penawaran sambil menatap Gabriel yang tampak berpikir.
"Kuliah lo?" tanya Gabriel, suaranya terdengar bindeng.
"Udah gue urus. Kalo lo mau ikut gue, gue bakal ikut urus surat pindah lo."
Gabriel menimang sesaat, disini dia tidak punya siapa-siapa lagi. Orang yang diharapkan yaitu sahabatnya yang ia kira akan merangkulnya ternyata ikut meninggalkan dirinya.
Kepala Gabriel mengangguk pelan. "Iya, gue ikut lo."
Izal tersenyum lebar. "Bener nih? Lo mau ikut gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
GABRIEL
Novela JuvenilSpin-off Nathan "Kamu kemana kok baru pulang jam segini?" dengan menahan sesak Melody bertanya pada suaminya dengan suara yang ia usahakan agar tidak terdengar serak. Gabriel menegang. Jantungnya bertalu seperti kepergok mencuri. Mata cowok itu liar...