GABRIEL || 44 (PART TERAKHIR)

7.2K 204 79
                                    

Happy Reading
.
.
.

Selamat membaca 🤗🤗🤗

-----------

KEPERGIAN Gavan sungguh membekas di hati para pamannya. Sampai saat ini tidak ada yang menyangka bocah kecil itu sudah pergi untuk selamanya. Padahal baru kemarin Nathan bertemu dengan Gavan, baru kemarin Nathan melihat senyuman ponakannya. Dari saat masih sehat bugar hingga fisiknya berubah drastis dengan kepala sudah botak, Nathan ada disana. Menyaksikannya langsung.

Sudah seminggu kepergian Gavan, Nathan tidak berhenti untuk menjenguk Gavan. Kenangannya bersama anak itu masih sangat kental di otaknya. Bagaimana Nathan mengajari Gavan naik sepeda, mengajak Gavan lari sore disekitaran komplek perumahan Gabriel karena Gabriel tak mau anaknya diajak jauh-jauh.

"Bro." panggilan itu membuat Nathan yang sedang berdiri menatap jalan raya dengan kedua tangan berada disaku menoleh ke belakang. Menatap Bernard yang datang dengan kedua cangkir di tangannya masing-masing.

Bernard berdiri disebelah Nathan, menyerahkan cangkir di tangan kanannya. "Kopi buat lo, ngilangin stress."

"Thanks.." Nathan menerimanya, menyesapnya pelan karena kopi itu masih mengepulkan asap tipis.

"Apa kata dokter Elon." tanya Nathan menatap tenang suasana malam kota Jakarta. Di bawah sana banyak kendaraan berlalu lalang, sesekali terjadi macet.

Bernard menelan kopinya. "Seperti yang gue duga Gabriel sengaja ngga mau diobati. Padahal sebelum makin parah katanya penyakitnya masih bisa ditangani."

"Jadi, udah ngga ada cara lain?"

Bernard menggeleng, menatap sisi wajah Nathan. "Gada, Nath, semua udah terlambat. Gabriel udah masuk ke stadium akhir. Gu-gue juga udah berusaha untuk bujuk dokter Elon biar Gabriel dibawa ke luar negeri. Tapi memang udah ngga bisa." Bernard menjawab dengan gemetar. Tangannya pada kuping cangkir mengetat.

Nathan dibuat bungkam, stadium akhir atau stadium 4 Gabriel sudah masuk ke tahap itu. Sudah tidak dapat diobati karena penyakit itu sudah menyebar ke seluruh tubuh. Penyakit jantungnya sudah kronis.

Mendapati fakta itu tanpa sadar Nathan menelan ludahnya yang terasa susah, seperti ada batu terhimpit di tenggorokannya. Apakah ia siap? Untuk kehilangan ke sekian kalinya? Apakah Nathan mampu? Kenapa harus Nathan yang mengalami kehilangan secara berturut-turut dalam hidupnya?

Sewaktu Sma pun begitu, 5 sahabat yang sekaligus pergi meninggalkan mereka. Andai mereka masih hidup, mungkin Theo sudah menikah dan memiliki anak.

"Menurut lo kenapa Tuhan ngasih cobaan berat ini sama kita? Apa karna kita kuat makanya di kasih cobaan kayak gini?" tanya Bernard, nada suaranya terdengar putus asa. Gabriel salah satu teman dekatnya, dia yang paling dekat dengan Gabriel setelah Rad ketimbang Al dan Dhika. Entah bagaimana Bernard nanti jika ditinggal Gabriel.

Nathan tidak bisa menjawab di saat pertanyaan itu sedang berada di otaknya sekarang. Dia ingin menyalahkan Tuhan tapi Tuhan yang memberi Tuhan juga yang mengambil.

Suara pintu dibelakang mereka yang terbuka membuat keduanya menoleh. Ada Nanda bersama dengan Rad dan beberapa teman mereka yang lain.

Bernard dan Nathan melakukan tos ala pria. Sebelum mereka berdua duduk disusul yang lain.

"Yang lain dimana?" tanya Nathan karena yang datang cuma 5, sementara mereka ada banyak.

"Sebagian kumpul di ruang Gabriel." Nanda menjawab. Cowok itu membuka jaket jins yang membalut tubuhnya.

Bernard melotot. "Kenapa ngumpul di sana? Gabriel 'kan lagi istirahat."

Reyhan yang sedang bersandar menatap Bernard. "Udah siuman dianya. Tadi pas mau kesini Gabe ngga sengaja nengok kita lewat. Dia manggil-manggil. Kebetulan pintu kamarnya ngga ditutup karna suster lagi meriksa dia." terang Reyhan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GABRIELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang