“Mind over, ketika kamu bilang semua akan baik-baik saja hanya karena kita mengakhirinya dengan baik.”
— Sabiel Nuraga
***
Mereka masih berada di tepi jalan, sebab Raga sama sekali belum menyalakan mesin motor dan membawa Kalana pulang. Andai kata mereka hanya berdiam diri di tempat, itu sama sekali tidak akan merubah kenyataan; bahwa detik akan terus berputar—membawa mereka pada suasana malam yang kian larut, serta dinginnya anila yang turut sempurnakan suasana malam ini.
Otak Kalana tak mampu berikan kalimat apa pun untuk diucapkan. Bahkan hanya untuk sekadar menolak atau mengiakan, sehingga gadis itu hanya memilih bungkam. Hingga pada akhirnya, Raga buka kembali obrolan yang beberapa menit lalu hanya mengudara.
“Show me where it is.” Satu kalimat itu cukup menarik perhatian si gadis. Bahkan sampai menarik atensinya, yang di mana saat ini sedang terjadi eye contact di antara mereka berdua.
“Apa?” jawab Kalana, dia tidak mengerti.
“Lukamu.”
Angin malam semakin bergemuruh, suara kendaraan yang berlalu-lalang menjadi bunyi paling utama yang dapat didengar. Kota sedang berisik-berisiknya. Namun, pikiran Kalana justru malah sebaliknya, padahal biasanya isi kepala yang selalu paling berisik.
“Setelah gue pikir, break dengan alasan ingin membenahi diri itu gak masuk akal. Break itu gak ada, yang ada cuma nunda mau putus.”
“Aku bingung harus jawab apa, aku bingung harus ngapain.”
“Kal, kalo ada yang salah sama diri gue atau diri lo. Kita bisa komunikasikan dengan baik, inget-inget lagi hal apa yang bikin lo jatuh cinta sama gue, sampai kita bisa bertahan sampai sejauh ini.” Raga raih jemari Kalana, kembali ia genggam tangan yang akhir-akhir ini sangat sulit untuk diraih.
“Sebenarnya, lo pergi karena apa, Kala? Jangan sampai kita ninggalin hubungan ini dalam keadaan kosong tanpa alasan.”
“Atau mau gue ajak ke semua tempat yang pernah kita singgahi? Biar lo sadar, kalo kita pernah sebahagia itu.”
Raga frustrasi, ia kesal, ia ingin marah sekali saja. Namun, Raga tak mau kehilangan Kalana, bagaimanapun itu.
“Ga, bahkan aku gak mau lagi pergi ke tempat yang pernah kita singgahi, dan aku gak mau pergi ke tempat yang baru ... sama kamu.” Kalana memelankan kalimat terakhir, tetapi suaranya cukup sampai ke telinga pemuda itu.
Raga berpikir keras, sepertinya keputusan Kalana memang sudah bulat. Beberapa kalimat yang terucap di hari mereka usai itu semua bohong.
“Kita beneran selesai di sini, aku beneran mau kita asing.”
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA : Narasi Terakhir dari Hati
Teen FictionDesir angin mendesau begitu kencang; menyapa rupa elok si pemilik nayanika. Apakah laut serta ombak yang meriak itu selalu membawa ketenangan? Burung-burung mengepakkan sayap, berkicau saling bersahutan, begitupun dengan isi kepala yang turut riuh...