Let Me Tie Your Shoes, 'cause I don't Want You Falling for Anyone Else.
— Kalana Malendra
***
Ini sudah selang beberapa jam, setelah pertukaran pasangan itu selesai, malam ini—tepat ketika jarum jam membidik angka delapan lewat lima belas menit, Kalana membiarkan tubuhnya duduk di depan pintu kamar mandi, ia sandarkan kepala pada dinding yang lembap akan suhu malam.
Suara tetesan air yang jatuh melalui keran itu cukup berikan Kalana ketenangan, meski air mata tak mampu bohongi seberapa takutnya gadis itu saat ini. Sunyi-senyap telah berhasil memporak-porandakan ingar-bingar di dalam kepala si gadis—buat kapasitas debar jantungnya menjadi tak beraturan.
Leher Kalana bak tercekik, napasnya tersengal-sengal. Gadis itu mengaku kalah pada beberapa hal yang mampu mengundang fragmen-fragmen menyakitkan dari masa lalu.
Sedatefobia dan juga Nyctophobia, itulah yang menjadi alasan utama kenapa ia tidak bisa berada di tempat gelap dan juga hening. Dalam beberapa alasan Kalana tidak mengerti kenapa semesta begitu jahat pada gadis remaja yang baru menginjak dua puluh dua tahun itu.
Dengan napas yang memburu, seorang pemuda berkaos putih dan topi berwarna hitam itu berlari—menaiki beberapa anak tangga. Setibanya di appartemen nomor tiga belas, ia embuskan napas panjang lalu ditekannya beberapa digit angka dan melangkah masuk.
"Kala." Dia Raga, pemuda dengan rasa khawatir yang menggebu-gebu; karena ia tahu bahwa Kalana-nya sedang berada dikondisi yang tidak baik-baik saja. Hanya itu yang Raga tahu, untuk beberapa alasan lainnya pemuda itu tidak tahu-menahu apa pun lagi.
Kini, atensi Raga terus menelisik setiap penjuru ruangan yang minim akan cahaya. "Ini gue, Kal." Raga bersuara.
"Raga lo ada di sini." Sekali lagi, ia panggil Kalana—berharap gadis itu segera menyadari akan kehadirannya.
Dalam hitungan detik, Raga temukan Kalana dalam keadaan yang benar-benar berantakan. Sial! Kalana menangis.
Itu Raga. Dia Ragaku ....
Satu buah headphone berwarna hitam, ia sematkan pada kepala si gadis, ia dekap perempuannya penuh afeksi. "Sayang ...."
"Ini lagu kesukaan Kala, coba kamu denger baik-baik, ya." Raga tangkup kedua pipi Kalana, ia tatap wajah si gadis. Matanya sembab, rambut berantakan, dan tubuhnya yang terus gemetar tak terkendali.
"Lo bisa denger gue, 'kan?" Kalana mengangguk, jatuhkan air mata sebelum tubuhnya kembali tenggelam dalam dekapan Raga.
"Kal, maaf. Gue terlambat lagi," ucap Raga, ia usap surai hitam milik Kalana, dikecupnya puncak kepala gadis itu dengan lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA : Narasi Terakhir dari Hati
Fiksi RemajaDesir angin mendesau begitu kencang; menyapa rupa elok si pemilik nayanika. Apakah laut serta ombak yang meriak itu selalu membawa ketenangan? Burung-burung mengepakkan sayap, berkicau saling bersahutan, begitupun dengan isi kepala yang turut riuh...