“Aku memiliki perasaan yang salah, bagaimana bisa aku jatuh cinta pada seseorang yang masih menggenggam erat masa lalunya?”
— Isabelle Akselia Mahatma
***
Setiap langkah akan menemukan titik pemberhentiannya, layaknya senja yang tak pernah bertanya bagaimana caranya ia menghampiri malam. Bagaimana cara hujan yang jatuh membasahi bumantara beserta seluruh isinya, serta bagaimana cara hati menemukan tulang rusuknya, karena segala sesuatu akan bertemu jika memang sudah waktunya.
Pagi itu, burung berkicau hampiri rungu Isabelle, buat gadis itu mau tak mau harus segera berpaling dari benda-benda yang mampu menyerap rasa penat. Selain itu, suara sendok yang beradu dengan garpu turut ganggu indra pendengaran si gadis. Isa terbangun—ketika menyadari bahwa Juna tidak biasa sarapan di rumah, lantas siapa yang benar-benar berisik di pagi hari?
Gadis itu meraih jepit rambut yang ia simpan di atas meja dekat tempat tidur, lalu mencepol rambutnya secara asal. Isabelle beranjak—membuka pintu kamar berniat untuk turun ke bawah, memastikan ada siapa di sana. Namun, ia dibuat terkejut dengan satu buket mawar putih berukuran kecil yang digantung di bagian handle pintu kamarnya.
“Happy birthday, Isa🔔”
“Ada tiga harapan yang bisa gue kabulin buat Isa🔔”
“Ck!” Isa berdecak dengan senyuman tipis, saat ia melihat tanda lonceng yang tak pernah hilang dari belakang namanya. Tentu saja Isa tau itu ulah siapa.
Isa sendiri hampir lupa jika hari ini bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke dua puluh tiga tahun. Hari yang tidak begitu Isa tunggu juga yang tidak bisa Isa benci, tetapi Juna selalu menjadi orang pertama yang membuat Isa mengukir senyum di hari ulang tahunnya.
Isa tidak bisa menarasikan seperti apa kakaknya itu. Namun, gadis itu benar-benar bersyukur ia terlahir sebagai adik Juna. Meski tak jarang, dalam beberapa alasan mereka sering kali terlihat cekcok satu sama lain. Kini, langkah kakinya mengayun dengan semangat—ingin segera ia temui Juna, dan mengatakan hal apa saja yang akan ia minta pada kakak satu-satunya tersebut.
“Juna!” Suara Isa menggema di seluruh sudut ruangan, berlari kecil menuruni setiap anak tangga.
“Juna lo serius, ‘kan?” Suara Isa masih terus terdengar, meski atensinya belum juga mendapatkan keberadaan Juna.
Senyum Isa kian melebar ketika mendapati sosok yang ia cari—sedang menyantap sarapan pagi di meja makan. “Jun ... eh, Mas–lo serius, ‘kan?” Kalimat Isa tampak terbata-bata.
Gadis itu tersenyum kikuk, senang, dan tak menyangka dengan apa yang baru saja ia lihat. Ketika seorang wanita paruh baya yang tiba-tiba muncul dari arah dapur, dengan satu mangkuk sup yang berada dalam genggamannya tampak tersenyum dengan tatapan yang sedikit mengintimidasi Isabelle.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA : Narasi Terakhir dari Hati
Novela JuvenilDesir angin mendesau begitu kencang; menyapa rupa elok si pemilik nayanika. Apakah laut serta ombak yang meriak itu selalu membawa ketenangan? Burung-burung mengepakkan sayap, berkicau saling bersahutan, begitupun dengan isi kepala yang turut riuh...