"Namamu, akan tertata rapi dalam rangkaian kata yang elok nan candu. Kita amerta di dalamnya, lalu menjadi dua atma yang paling harsa."
***
Beberapa hari terakhir ini, Kalana habiskan waktunya sendirian. Ia tak pedulikan siapa pun, gadis itu merasa kacau dalam segala hal, apakah ini yang Kalana inginkan selama ini? Karena ia merasa bahwa tidak ada seorang pun yang berhak berada di sampingnya, termasuk Raga.
Raga, laki-laki sempurna yang tak ingin Kalana rusak masa depannya.
Malam itu, Kalana dengan rambutnya yang berantakan juga pasir pantai yang menempel pada pakaian, serta terhidu pula aroma amis dari bajunya yang kian mengering itu-mematung di depan pintu—iris hitamnya menyapu pandang pada seisi rumah yang terlihat berantakan.
Dalam beberapa alasan, Kalana benar-benar merasa lelah, hingga tanpa sadar air matanya kembali menetes, entah kenapa hal kecil yang masih mampu diselesaikan pun turut ia tangisi.
Ia tidak tahu pasti, hal apa yang harus ia tangisi sebenarnya. Entah hidupnya yang berantakan atau banyaknya pekerjaan rumah yang harus ia selesaikan, atau mungkin Kalana terlalu lelah sebab baru saja tiba di rumah. Apa pun itu, Kalana benar-benar merasa lelah.
Baru kali ini, Kalana menangisi hal sesederhana itu. Namun, ketika tubuh terlalu lelah, bukankah hal sekecil apa pun akan terasa berat? Bahkan sekadar melihat pakaian kotor yang menumpuk, atau lantai yang belum sempat dibersihkan.
Sekali saja, Kalana benar-benar ingin memaki hidupnya, memaki dunia dan juga seisinya. Seperti inikah cara dunia bekerja? Padahal, ia sudah berusaha sekeras mungkin. Namun, Kalana tetaplah Kalana, perempuan yang tidak seapik dan sebersih itu.
Bagaimanapun juga, inilah Kalana—perempuan dengan serba-serbi kekurangannya.
Ia sandarkan tubuh pada sofa abu yang mampu menampung semua lelahnya, ia hirup aroma lavender yang menyeruak di dalam ruangan, juga bau amis dari tubuhnya yang beradu satu, barang kali seperti itu baunya, aneh.
Suara bel menyapa rungu si gadis, padahal beberapa detik lalu ia hendak memejamkan mata-mencari ketenangan sejenak-sebelum dirinya memutuskan untuk mandi. Lagi pula, siapa yang bertamu?
“Deena?” Kalana sedikit terkejut, ketika yang datang bertamu ternyata Adeena bukan Raga. Apa yang Kalana pikirkan tentang pemuda itu? Mungkinkah Kalana memang berharap bahwa yang datang itu adalah Raga?
“Gue boleh masuk, Kal?” tanya Adeena, ia pun mengangguk.
Adeena Maheswari dia adalah salah satu orang yang dekat dengan Kalana setelah Raga. Dia adalah perempuan pertama yang Kalana kenal, semenjak gadis itu memutuskan untuk menetap di Jakarta. Hubungan yang pernah terjalin antara Raga dan juga Adeena tak mempengaruhi pertemanan di antara keduanya, karena masa lalu adalah masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA : Narasi Terakhir dari Hati
Ficção AdolescenteDesir angin mendesau begitu kencang; menyapa rupa elok si pemilik nayanika. Apakah laut serta ombak yang meriak itu selalu membawa ketenangan? Burung-burung mengepakkan sayap, berkicau saling bersahutan, begitupun dengan isi kepala yang turut riuh...