"Benar, katamu kita hanya perlu jeda.
Jeda yang tidak mungkin bisa diperhitungkan waktunya."— Sabiel Nuraga
***
Raga melempar stik PlayStation milik Juna, pemuda itu kesal dengan segala isi pikirannya. Namun, sepertinya ada yang lebih kesal daripada Raga saat ini. Juna menatap Raga tidak biasa, laki-laki tu hampir saja merusak benda kesayangan—yang cukup sulit didapatkan Juna beberapa waktu lalu.
Lagi dan lagi Kalana, rupanya gadis itu masih saja mengusik pikiran Raga, membuat mood pemuda itu kembali berantakan. Entah, apa yang sebenarnya Raga sesali, usainya hubungan atau kepergian Kalana, memangnya kenapa jika tidak dengan Kalana?
"Ga, gue tahu lo lagi galau berat, tapi bisa gak? Bisa gak jangan rusak barang-barang gue, buat dapetin ini gue usaha mati-matian, Raga." Juna mendramatisir.
"Sorry, Jun. Enggak sengaja." Raga membalas dengan kekehan yang menunjukan beberapa deretan giginya yang rapi.
"Kalo masak kebanyakan garam itu ... apa, sih, namanya?" Celotehan itu tiba-tiba keluar begitu saja dari mulut Kemal, yang langsung mendapat sahutan dari Akash.
"Asing, ya?"
Sontak mereka pun tertawa, tidak dengan Raga yang saat ini benar-benar sedang malas untuk bercanda. Raga tidak pernah marah, sebab ia pun merasa bahwa candaan dalam lingkup pertemanan mereka memang seperti ini, dan itu adalah hal yang biasa.
"Tapi, Ga. Hubungan lo sama Kalana beneran udahan?" Juna bertanya.
"Geu rasa, sih, begitu. Stress!" Raga mengeluh, setidaknya dalam satu menit pemuda itu bisa menghela napas panjang sebanyak tiga kali.
"Gimana enggak stress, lo baru aja kehilangan seseorang yang pernah menjadi pusat kehidupan lo selama beberapa tahun terakhir ini, pasti kelimpungan banget." Tegar yang sedari tadi hanya menggeser-geser layar ponsel itu pun turut bersuara.
"Tapi gue cuma beneran pengen tahu, alasan dia yang sebenarnya mutusin gue karena apa? Gue makin ngerasa bersalah kalo emang alasan dia mutusin gue karena ide gila gue waktu itu."
"Tapi, Ga. Lo ngelakuin ini juga demi Kalana sendiri, 'kan?"
"Lo bener, Juna. Cuma tetep aja, berarti emang gue yang nyakitin Kalana di sini," ujar Raga.
"Ga, saran gue mending lo gak usah mikir siapa yang salah di sini, karena yang namanya jatuh cinta itu pasti ada konsekuensinya, disakiti atau menyakiti dan itu hal yang umum." Akash membernarkan posisi duduknya, menyeruput segelas lemon tea yang sudah disiapkan sedari tadi.
Benar, Raga sendiri menyetujui masukan dari Akash, dan sepertinya dia memang sudah seharusnya mulai terbiasa tanpa Kalana.
Let's forget him, Raga!
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA : Narasi Terakhir dari Hati
Ficção AdolescenteDesir angin mendesau begitu kencang; menyapa rupa elok si pemilik nayanika. Apakah laut serta ombak yang meriak itu selalu membawa ketenangan? Burung-burung mengepakkan sayap, berkicau saling bersahutan, begitupun dengan isi kepala yang turut riuh...