Terima kasih telah menjadi seseorang yang paling menenangkan, meski setelahnya kamu menghadapkanku pada sebuah kehilangan.
***
Tatapan Raga tampak kosong, pikirannya melalang buana entah ke mana—atau mungkin tak sengaja mengingat kembali detik-detik tubuh Isabelle yang terseret hingga darahnya berceceran di mana-mana.
Netranya tertuju pada ruangan ICU, sedangkan otak berusaha menghilangkan fragmen-fragmen menyakitkan yang terus mengusik. Sejak tadi, Raga tak pernah mengalihkan atensinya—fokus pada pintu ruangan di mana tubuh Isa terbaring lemas tak berdaya, hingga suara derap langkah kaki buyarkan lamunan laki-laki itu.
“Raga!” teriak seorang laki-laki, bergema di lorong senyap rumah sakit. Suara gemetar diikuti isak tangis seorang wanita yang Raga yakini itu adalah suara Arsy—ibunya.
Tidak ada setetes pun air mata yang basahi pipi laki-laki itu, bahkan air mata saja tidak cukup menggambarkan betapa sakit dan khawatirnya Raga saat ini.
“Ga, kok bisa?” tanya pemuda itu yang tak lain adalah Juna—teman sekaligus kakak iparnya. Suaranya terdengar berat, panik, dan khawatir seolah menjadi satu.
Raga menoleh, matanya memerah menahan perih. Apa mereka juga bisa melihat seberapa kacau perasaan Raga saat ini?
Arsy duduk di samping Raga, mengusap lembut pundak menantunya itu, mencoba untuk saling menenangkan meski pada kenyataannya selembut apa pun itu tidak akan menyelesaikan pilunya.
Semua orang terpukul, dan Raga membenci Isabelle yang saat ini tidak berdaya.
Raga meremas jemarinya kuat-kuat—mencoba melampiaskan semua rasa sakit yang ia rasa. Laki-laki itu membenci ruangan ICU, ruangan yang perlahan merampas harapan seseorang, ruangan yang menjadi tempat di mana orang tuanya mengembuskan napas untuk yang terakhir kalinya.
“Gue harus apa sekarang?” Raga menjambak rambutnya kuat-kuat, dia telah kehilangan segalanya.
“Sa, gue harap lo bisa bertahan.”
“Demi gue, demi cinta yang udah lo tungguin selama tujuh tahun itu.”
“Gue bisa pastiin kalo gue juga bisa mencintai lo selama itu, bahkan lebih lama lagi.”
“Lo harus ngasih tahu dunia, kalo lo punya dua Raga di dunia ini.”
“Sa, lo belum pamitan sama gue, sama suami lo.”
“Katanya, kalo istri mau pergi tanpa izin suami itu, gaboleh, ya? Gue gak izinin lo pergi, Isa.”
Sisa-sisa kewarasannya entah ke mana, sedangkan batin terus saja berisik, padahal bukan hanya perasaan Raga saja yang sedang teriris.
Juna sama frustrasinya seperti Raga, adik perempuan satu-satunya itu sedang memperjuangkan sisa-sisa hidupnya di dalam ruangan ICU, ruangan yang menjadi ancaman bagi jiwa seseorang yang ada di dalam sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA : Narasi Terakhir dari Hati
Teen FictionDesir angin mendesau begitu kencang; menyapa rupa elok si pemilik nayanika. Apakah laut serta ombak yang meriak itu selalu membawa ketenangan? Burung-burung mengepakkan sayap, berkicau saling bersahutan, begitupun dengan isi kepala yang turut riuh...