“Satu hati bisa patah dengan banyak cara. Sebab itulah, setiap perpisahan selalu meninggalkan banyak bekas.”
***
Isabelle sibuk dengan ponselnya, karena hanya itu yang selalu Isa lakukan ketika perempuan itu sudah merasa jenuh dengan beberapa kegiatan lainnya, sedangkan Raga sibuk dengan benda yang memiliki leher padat tersebut—mencari melodi yang tepat untuk lagu terbaru mereka yang akan segera dirilis.
Sesekali Isa pandangi Raga, hati memang tidak bisa bohong ketika sebuah lengkungan manis itu terpatri dari bibir ranumnya. Ia selalu berpikir di mana letak ujung perasaannya, yang bahkan tak pernah menemukan ruang temu untuk bercerita bagaimana sabarnya Isa mengagumi manusia seperti Raga.
Dari ribuan objek di muka bumi, netranya seolah terkunci di manik mata sang adam. Memangnya Raga miliki apa sampai Isa jatuh hati sedalam itu?
“Seberat apa, Sa? Sampe helaan napasnya aja kedengeran sampe sini.” Raga bersuara, yang dalam sekejap mengunci kontak mata di antara keduanya.
“Suara gitar gue aja kalah sama napas lo,” lanjutnya lagi. Sedang Isa segera membuang pandangan. Sial! Entah, ekspresi seperti apa yang Raga lihat ketika perempuan itu sedang asyik memandanginya.
“Engga seberat itu, tapi kalo diceritain berat banget,” papar Isa.
“Isa ga mau coba buat cerita?” Pertanyaan Raga buat Isa terdiam. Namun, dalam hitungan detik perempuan itu menggelengkan kepalanya.
“Kapan-kapan aja kalo ada waktu,” kata Isa, berusaha mengalihkan. Lagi pula, tidak mungkin bagi Isa untuk menceritakan bagaimana sebenarnya perasaan Isa untuk Raga saat ini, atau justru malah sebaliknya?
“Gue luang.”
Raga terlalu mengerti untuk hal-hal yang sederhana, tetapi tidak sesederhana itu untuk Isa—yang rasanya sangat mustahil jika dikatakan. Dia terlalu pengecut untuk mengakui perasaannya, dia terlalu takut jika hanya penolakan yang ia dapat.
“Engga, Kak. Nanti aja.” Lagi, Isa menolak. Lalu, kembali menyibukkan diri dengan ponselnya, meski yang ia lakukan hanya menggeser-geser layar saja.
“Kalo gitu ayo keluar, muter-muter gajelas, sekalian nyari makan. Mau?” Raga berdiri, menyimpan gitar pada tempatnya.
Isa tersenyum senang, ini adalah kali pertamanya Raga mengajak Isa keluar meskipun hanya untuk sekadar mencari angin atau beberapa camilan. Namun, entah kenapa, hal-hal yang sederhana itu bisa menyenangkan perasaan Isabelle.
“Mau!” Suara Isa menggema. Raga yang melihat pun ikut tersenyum.
“Aku ambil jaket dulu, ya."
Kening Raga sedikit berkerut, tiba-tiba sekali Isa menggunakan kata tersebut yang sejujurnya terasa nyaman saat didengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA : Narasi Terakhir dari Hati
Teen FictionDesir angin mendesau begitu kencang; menyapa rupa elok si pemilik nayanika. Apakah laut serta ombak yang meriak itu selalu membawa ketenangan? Burung-burung mengepakkan sayap, berkicau saling bersahutan, begitupun dengan isi kepala yang turut riuh...