"Ternyata benar, hukum alam itu nyata. Apa pun yang belum selesai, akan kembali dipertemukan."
— Sabiel Nuraga
***
Ribuan detik telah berlalu, tetapi Isa tak cukup mampu untuk banyak berkata lagi; setelah kata terakhir yang pemuda itu ucapkan. Kalimatnya seolah melumpuhkan bibir Isa untuk berhenti bergerak, tidak ada yang pernah menyangka jika pernyataan itu akan dilontarkan pada Isabelle langsung dari mulut Raga, dengan waktu yang secepatnya ini.
Seolah Raga sudah siap, padahal perasaannya masih jauh tertinggal di masa lalu.
Tidak ada yang benar-benar siap dari keputusan itu, sekalipun Isa menginginkan Raga sejak lama. Bahkan Isa sendiri tidak tahu sudah berapa lama ia mengagumi Raga, padahal sudah jelas bahwa dari dulu Raga tidak pernah melirik Isa sama sekali.
Mungkin, lima atau enam tahun, sudah selama itu Isabelle jatuh cinta sendirian. Namun, perasaan yang dimiliki Isa tak pernah berubah sedikitpun, meski realita menamparnya dengan keras—menyadarkan Isa bahwa sudah ada dua hati yang pernah singgah di hati Raga.
Isa tidak pernah berisik, begitupun dengan Juna. Dia jatuh cinta sendirian, maka terluka pun turut sendirian, sebab selalu ada hal-hal yang tak sengaja melukai perasaan Isa, meski pada dasarnya siapa Isabelle di mata Raga? Yang bahkan ketika hatinya terluka pun, itu bukan tanggung jawab Sabiel Nuraga.
Sesekali Isa pandangi Raga, tanpa diketahui si pemilik rupa. Sampai suara bass milik Raga buyarkan pandangannya, buat gadis itu kelabakan. "Sa, gue mau beli sesuatu. Bisa bantu pilihin, ga?" tanyanya.
Isa menghela napas panjang. "Boleh."
"Kenapa, Sa? Gue tahu lo lagi liatin gue. Mau dari deket liatnya? Nih."
Raga sedikit membungkukkan badannya, ia tatap wajah Isa yang kini hanya terpaut beberapa sentimeter saja. Seketika mata Isa membelalak, juga detak jantungnya yang kian berpacu lebih cepat.
"Kak, lo ke semua cewek kayak gini?" tanya Isa terbata-bata.
Apa Raga memang semudah ini untuk dekat dengan seseorang?
Wajah Raga perlahan menjauh, ia kembali pada posisi asalnya—berjalan berdampingan dengan Isa. "Tergantung orangnya, dan lo bukan orang baru di hidup gue, Sa."
Entah, bagaimana Isa harus mendeskripsikan kata 'lo bukan orang baru di hidup gue' Jadi, apa Isa sudah memiliki tempat, setidaknya seujung jari kuku?
"Karena lo adiknya Juna." Raga memberi penjelasan.
"Adiknya Juna." Batin Isa bersuara, sedikit kecewa. "Apa yang lo harepin, sih, Isabelle?" gumamnya.
"Btw, lo mau beli apa?" tanya Isa, yang berusaha mengalihkan topik sebelumnya.
"Ikan hias, Sa."
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA : Narasi Terakhir dari Hati
Novela JuvenilDesir angin mendesau begitu kencang; menyapa rupa elok si pemilik nayanika. Apakah laut serta ombak yang meriak itu selalu membawa ketenangan? Burung-burung mengepakkan sayap, berkicau saling bersahutan, begitupun dengan isi kepala yang turut riuh...