“Kenapa harus berhenti untuk saling sapa, hanya karena cerita kita sudah lama usai. Bukankah, asing itu adalah satu hal yang paling ingin kita hindari?”
— Kalana Malendra
***
Larut dalam obrolan bersama Juna berhasil membuat mata Isabelle memerah, perih, juga dada yang terasa begitu sesak. Dia tidak tahu, sejak kapan Juna mengetahui semuanya tentang hal-hal yang sudah Isa sembunyikan sejak lama itu. Kepada Juna, Isa tidak bisa menyembunyikan hal-hal sekecil apa pun, selalu ada celah di mana Juna akan mengetahui dengan sendirinya.
Setelah beberapa jam obrolan mereka dipenuhi emosi, kini padam sudah api yang membara dari benak laki-laki itu. Juna menarik napasnya, mengusak surai legam milik Isabelle dengan lembut.
“Gue harap lo bisa bertahan, ya, Sa. Gimana pun keadaannya,” kata Juna, sedang Isa hanya mengangguk kecil.
“Dah, sana keluar. Keknya Raga udah dateng,” ucap Juna, yang samar-samar mendengar kebisingan dari lantai bawah.
“Lo gak ikut turun?” tanya Isa.
“Gue nyusul bentar lagi.”
Sejujurnya perasaan Juna ikut runtuh, tetapi ia tak ingin menunjukan raut wajah sedihnya di hadapan sang adik. Bagaimanapun juga, Juna harus lebih kuat daripada Isabelle.
Isa menuruni setiap anak tangga, mendengar samar-samar suara Raga yang sepertinya sedang mengobrol bersama kedua orang tuanya. Pemandangan yang selalu berhasil membuat Isa melebarkan senyuman.
“Hai!” panggil Raga ketika ia melihat Isabelle sedang berjalan menuju ke arahnya.
“Kamu udah lama? Kok engga ngasih tau aku?” tanya Isa, yang langsung duduk di samping laki-laki itu.
“Engga, aku baru sampe. Dari kafe langsung ke sini, engga sempet cek hape,” jawab Raga.
“Liat pengantin baru kok bawaannya adem, ya,” timpal Narendra—tersenyum senang ketika melihat Isabelle dan Raga yang tampak akur.
Isa hanya tersenyum kikuk. Tidak lama setelah Isa datang, mereka memberi ruang untuk Raga dan Isa mengobrol, selain itu juga mereka punya beberapa kegiatan yang harus dikerjakan.
“Kamu udah makan?” tanya Isabelle.
“Belum, laper.”
“Kata mama tadi Isa masak, ya?”
Isa mengangguk diikuti kekehan kecil. Sepertinya Raga sudah mulai berani menunjukkan sifat-sifat clingy-nya secara terang-terangan. Meski belum jelas perasaan yang dimiliki Raga terhadap Isabelle itu seperti apa.
“Mau mandi dulu? Nanti aku siapin makanannya. Btw, Juna ada di kamar.”
“Aku ke sini buat ketemu Isa, bukan nyari Juna. Sama dia mah setiap hari juga ketemu, bosen.”
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA : Narasi Terakhir dari Hati
Novela JuvenilDesir angin mendesau begitu kencang; menyapa rupa elok si pemilik nayanika. Apakah laut serta ombak yang meriak itu selalu membawa ketenangan? Burung-burung mengepakkan sayap, berkicau saling bersahutan, begitupun dengan isi kepala yang turut riuh...