“Belakangan ini aku selalu mencoba menyamakan beberapa hal yang mungkin tak pernah seimbang; antara aku dan kamu, berharap aku bisa. Namun, caraku mencintaimu mempersulit inginku.”
— Isabelle Akselia Mahatma
***
“Apa yang masih kamu harapkan dari Kalana, Kak?” tanya Isa, yang akhirnya bersuara setelah bungkam beberapa menit.
“Engga ada, Isa,” jawab Raga, jujur. Namun, tetap saja Isa tidak bisa mempercayai Raga semudah itu. Jika memang sudah tidak ada lagi yang laki-laki itu harapkan, lantas kenapa ia masih mengunjungi email tersebut?
“Aku baca draf email kamu, ternyata kamu masih sepeduli itu, belum lagi Kalana yang mendeskripsikan kamu seindah dan sedetail itu lewat tulisannya.”
Raga terdiam, sebelum dia kembali berbicara. “Kamu nyari tau tenang dia?” tanyanya.
“Buat apa?” Seketika ekspresi Raga tiba-tiba berubah, dingin dan buat tak nyaman.
“Engga dicari tahu pun, semua orang tahu itu.”
“Apa selama ini kamu emang seperti ini, Sa?” tanya Raga pelan, tetapi cukup mengintimidasi sang hawa.
“Kamu pura-pura percaya padahal engga? Emang selama ini kamu lihat aku itu seperti apa?” Bahkan Isa bisa merasakan aura dingin Raga, yang seolah mulai menjalar ke setiap inci tubuhnya.
Isa menghela napas, sejujurnya ia benar-benar tidak ingin berdebat. Namun, Isa sudah diam cukup lama untuk memahami yang sebenarnya tidak ingin ia pahami, terutama untuk beberapa hal yang membuat perasaan perempuan itu sakit.
Sekali saja, izinkan Isabelle egois perihal cinta yang dimilikinya.
“Childish banget kamu, Sa.” Tanpa Raga sadari, perkataannya benar-benar membuat Isa sakit, secara tidak langsung Raga menyepelekan rasa cemburu yang dimiliki Isabelle.
Setelah itu Isabelle memilih diam, ia tak lagi melanjutkan perdebatannya dengan Raga. Perempuan itu bangkit lalu membuka gorden kamar, di waktu yang bersamaan embusan angin menerjang wajah cantik Isabelle saat setelah jendela kamar dibuka.
Angin kencang menerobos masuk tanpa aba-aba, membuat sedikit kekacauan dalam kamar—menerbangkan selembaran kertas yang tersimpan di atas lemari milik Isabelle; secarik surat yang berisikan hasil check up, dengan nama Isa di dalamnya.
“Sirosis hati?”
Isa yang sedari tadi mencoba menenangkan isi pikiran dengan udara pagi itu seketika terdiam, tubuhnya mendadak tak memberikan reaksi apa pun, kalimat yang diucapkan Raga beberapa detik lalu itu seolah berdenging kencang tepat di telinganya.
“Isabelle Akselia Mahatma.” Raga semakin memperjelas namanya, sedang Isa masih enggan berbalik meski hanya untuk sekadar merebut kertas tersebut.
“Kita emang seasing ini? Hal yang seharusnya aku tahu aja kamu ga ngomong, Sa. Sebenarnya kamu anggap aku tuh, apa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
RAGA : Narasi Terakhir dari Hati
Novela JuvenilDesir angin mendesau begitu kencang; menyapa rupa elok si pemilik nayanika. Apakah laut serta ombak yang meriak itu selalu membawa ketenangan? Burung-burung mengepakkan sayap, berkicau saling bersahutan, begitupun dengan isi kepala yang turut riuh...