Chapter 17 - Kisah itu, Menenggelamkan Kalana

24 4 0
                                    

“Ketika manusia bertemu dengan orang baik, justru yang jahat adalah dirinya sendiri, pun sebaliknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Ketika manusia bertemu dengan orang baik, justru yang jahat adalah dirinya sendiri, pun sebaliknya. Apakah cara dunia bekerja itu, seperti ini? Di mana hal-hal baik selalu bersinggungan dengan kejahatan.”

***

Bandung, 2006 ....

Kalana selalu bungkam, menuruti apa pun yang dikatakan sang ayah, tetapi tidak dengan hati yang sesekali ingin memberontak. Mimik wajah yang selalu terlihat dingin, juga tatapan kosong seolah tak punya tujuan padahal otak tak pernah tidak berisik.

Entah, seberapa besar Dimas menaruh ekspektasi terhadap Kalana—anaknya, hingga gadis kecil itu tak mampu berkutik sesuka hati. Bukankah ketika orang tua menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi itu hanya akan merusak masa depan seorang anak?

Saat itu, Kalana masih duduk di bangku Sekolah Dasar, di usia Kalana yang masih terbilang kecil ia harus dihadapkan dengan satu kenyataan bahwa ia tidak seperti teman-teman seusianya—yang asik bermain ayunan, perosotan, atau bermain sepeda di taman komplek.

Kalana menginginkan masa kecil yang seperti itu, bukan bagaimana cara memenangkan tender agar bisnisnya berkembang pesat, atau bagaimana menjadi seseorang agar bisa menarik perhatian banyak orang. Sejak saat itu, Kalana selalu memfokuskan diri pada beberapa hal, bahwa apa pun yang ia lakukan selalu memiliki tempatnya masing-masing.

Ia tidak pernah tersenyum atau tertawa sembarangan, menangis sembarangan, bahkan dengan siapa pun dia berteman pun harus memiliki tempatnya masing-masing. Di mana Kalana sendiri pun memiliki posisi yang selalu menjadi pusat perhatian orang-orang, padahal Kalana tak sedikit pun menginginkan hal tersebut, karena untuk Kalana sendiri, hal tersebut adalah tekanan terbesar selama ia hidup.

Ada beberapa hal sepele yang tidak sengaja Kalana lakukan, dan beberapa kali ia mendapat gebrakan amarah yang cukup membuat mental Kalana seperti dihajar habis-habisan, padahal Kalana sudah berusaha mengimbangi, tetapi ada beberapa hal yang tidak bisa Kalana kendalikan.

Sesuatu yang terlalu disusun, bukankah selalu mendapat hasil yang berantakan?

Kalana mencoba memberontak dengan tidak mengikuti les private, dia memilih untuk bermain di taman komplek bersama teman-teman seusianya. Alhasil, nama Kalana keluar dari peringkat tiga besar, saat di mana Dimas mengetahui apa yang membuat nilai sang anak turun secara drastis, pria yang terlihat berwibawa dengan tempramen buruk itu kian marah.

Diseretnya Kalana, ia bawa putri semata wayangnya itu ke dalam satu ruangan gelap yang kedap suara. Hening dan menyesakkan, hanya teriakan sang ayah yang selalu memekik seolah mencekik Kalana tanpa ampun.

“Saya membesarkan kamu dengan uang, usaha dan kerja keras. Apa susahnya untuk pergi belajar dan menjadi apa yang saya inginkan?!”

“Kala selalu jadi apa yang Papa mau, menuruti semua yang Papa katakan, tapi diusia Kala yang masih kecil, apa tidak boleh bermain sepeda dan pergi bermain air hujan bersama teman-teman?”

RAGA : Narasi Terakhir dari Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang