Tetesan darah segar jatuh ke danau dengan air tenang di musim dingin. Purnama jadi saksi perjanjian terlarang yang terjadi malam itu.
Seorang pria berdiri di atas tebing batu, memegang katana di genggaman tangan kanannya, mengukir luka di tengah telapak tangan kirinya tepat setelah membacakan mantra dari seorang kitsune tua yang ia temui di Selatan istana Ginkakuji, tempat ia menyepi selepas kematian istrinya.
Namun bukan ketenangan yang ia dapati setelah menyepi, melainkan kesedihan dan penyesalan yang begitu mendalam sehingga ia memohon kepada Dewa Inari agar istrinya kembali hidup dengan apapun konsekuensinya yang ia harus bayar nantinya, asalkan sosok itu kembali dapat di peluknya lagi.
"Kembalilah Hinata, aku akan menunggu di sini seperti biasanya." Bisik baritone itu dengan tenggorokan yang seolah tercekat.
Tepat setelah tetes ke empat belas darah segar dari tangan pria itu jatuh ke dalam danau, angin kencang berembus ke arah Timur, persis seperti yang dikatakan oleh kitsune tua itu dan penjabaran dalam kitab terlarangnya, Dewa Inari telah mendengar permintaannya.
Kimono dan Hakama hitamnya melambai tertiup angin kencang, namun sosoknya tetap berdiri tegak di atas tebing batu.
Danau dengan air tenang itu berubah riuh sebab terpaan angin yang entah dari mana asalnya. Bola mata biru yang dipenuhi duka itu bergerak gelisah, menagih janji dari sang Dewa untuk mengembalikan istrinya yang kata semua orang telah mati.
"Hinata-.." Baritone itu bergetar saat mendapati sesuatu muncul di tengah danau, nampak menyembul dari gelap malam dan riuh air yang tertiup angin.
Detik berikutnya, samurai terkuat negeri itu telah melompat dari atas tebing batu ke danau dengan air yang kembali tenang.
Seperti apa yang kitsune tua itu katakan, Dewa Inari tak pernah ingkar pada janjinya yang tertulis dalam kitab terlarang itu.
...
Langkah tegap pria itu menjejak pasti dan cepat di halaman kediamannya. Tetes air danau berjatuhan di atas lantai kayu, riuh suara langkahnya, membangunkan para pelayan yang tadinya sudah terlelap.
"Hinata-sama-.."
Suara bisikan penuh keterkejutan dari para pelayan mengiringi langkah Naruto di sepanjang rouka, namun dia tidak peduli itu, yang terpenting Hinata telah kembali dalam dekapannya, tertidur dengan kimono kebasahan.
Hanya ini yang ia inginkan, tak ada yang lain, bahkan ia telah menukar separuh jiwanya dengan yokai dari neraka malam ini.
...
Naruto meletakan istrinya di atas futton, wanita itu nampak pucat sekali dengan tubuh basah kuyup, namun benar ini adalah Hinata-nya, istrinya yang ia kecup dan peluk di tempat yang sama sebelum berangkat berperang di perbatasan Kyoto musim gugur lalu.
Pria itu meletakan katananya di atas lantai begitu saja, kemudian menyalakan bara api penghangat di sudut kamar seraya melepaskan pakaian yang melekat di tubuhnya sendiri.
Tak peduli lantai kayu di dalam kamar menjadi begitu basah karenanya, dia membiarkan kamar mereka tetap separuh gulita, wanita itu selalu menyukainya seperti ini.
Bayangan para pelayan tercetak jelas di pintu geser, mereka berdiri di sana sibuk berbisik dan bertanya, juga terdengar suara isak tangis pelan.
"Kembalilah beristirahat, aku yang akan merawatnya." Ucap Naruto kepada para pelayan dengan suara tegas tanpa membuka pintu geser seperti biasanya.
"Baik, Naruto-sama." Para pelayan tergugup menjawab, perintah tuan mereka. Meski dalam benak terus bertanya-tanya, benarkah itu puan mereka yang telah mati?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rise of the Yokai
FanfictionSeorang samurai telah membuat perjanjian terlarang dengan Dewa Inari. Bahkan jika harus mati karena kutukannya, dia tidak peduli asal bisa melihat wanita itu hidup kembali.