Naruto turun dari kudanya dengan tergesa, dia berlari menuju ayah Hinata yang ada di tepian danau bersama belasan samurai yang tengah mencari.
"Apa yang terjadi?" Tanya Naruto dengan kekacauan isi kepalanya. Dia mendapatkan sebuah berita dari seorang penjaga kediamannya yang menyusul ke Utara kemarin malam, dia mengatakan bahwa istrinya tidak kembali ke rumah sejak dua malam yang lalu.
Hiashi kelihatan lelah, pucat, dan sendu. Suhu udara terus menurun dan dirinya berdiri di tepian danau ini sepanjang hari. "dia tidak ada, Naruto."
Naruto merasa bahwa ini semua adalah mimpi, berita yang dia dengar bahwa istrinya pergi dan tidak pernah kembali adalah kebohongan.
"Seseorang mendengar suara benda jatuh yang sangat keras di danau pada sore hari tiga hari yang lalu, maka pencarian difokuskan di area danau." Hiashi tidak tahu apa benar putrinya ada di sini, jatuh dan tenggelam, seperti asumsi semua orang yang mengatakan begitu.
Naruto menatap danau yang nyaris membeku itu, dia menahan mati-matian gemetar di tubuhnya sebab semua kekalutan itu memenuhi dirinya.
"Naruto!" Asuma memanggil dengan agak keras.
Naruto menoleh dengan isi kepala yang masih coba mencerna segalanya. Saat ini dia tidak merasa akan menangis atau meraung keras-keras, dia hanya terdiam membeku mencoba mengerti apa yang tengah terjadi.
Semua orang mengatakan, bahwa istrinya pergi dari rumah di sore tiga hari lalu, dan kemungkinan terbesar wanita itu telah jatuh ke dalam danau dengan air sedingin es sedalam dua puluh tujuh meter itu, padahal wanita itu tidak bisa berenang untuk menyelamatkan diri, dan ini adalah hari ketiga pencariannya.
Jadi kemungkinan terbesarnya saat ini adalah wanita itu sudah tewas, dan semua orang di sini untuk menemukan jasadnya.
Sebuah pemikiran yang begitu logis telah berhasil Naruto cerna dalam kepalanya, namun logikanya menolak fakta bahwa istrinya telah mati, maka ia memenuhi isi kepalanya dengan informasi palsu bahwa Hinata hanya belum ditemukan, dia mungkin tengah berpergian karena bosan.
Namun Ucapan Asuma yang mengudara setelah itu membuat semua asumsi positif di kepala Naruto luruh seketika jadi kekalutan.
"Naruto, samurai kami temukan sebuah payung dan suripa di atas tebing batu, mereka belum menyentuhnya, mereka ingin kau melihatnya lebih dulu." Asuma berucap cepat.
Naruto berlari ke arah tebing batu dengan tergesa, meski kakinya terasa lemas dan dia tergelincir beberapa kali saat naik ke atas tebing batu seraya berlari.
Semua samurai di atas tebing batu menyingkir saat Naruto naik dengan kekalutan yang nampak jelas, mata birunya memancarkan sebuah ketakutan.
Naruto berlutut di tebing batu dan mendapati sebuah payung bambu berwarna biru dan sebelah suripa kayu berwarna marun, benar itu milik istrinya, dia berlutut meraba tiap sisi tebing batu itu dengan tangannya, mencari jejak istrinya yang tersisa di sana.
"N-naruto-sama.."
Semua samurai terkejut melihat tuan mereka berlutut di atas tebing batu, nampak kalut seraya meraba ke sana ke mari seakan mencari sesuatu.
Mata birunya terbelalak saat melihat sebuah cincin giok pernikahan yang ia berikan untuk istrinya.
Gumpalan air mata itu seakan berlomba keluar dari bola mata biru Naruto setelah itu. "Hinata-."
Bersamaan dengan kekalutan yang memenuhi dirinya, Naruto menggenggam cincin giok itu di kepalan tangannya lalu melompat dari tebing batu ke danau di bawahnya, mungkin wanita itu benar ada di bawah sana, tenggelam dan menunggunya datang menyelamatkan, seperti yang pernah mereka bicarakan dulu.
Semua orang sangat-sangat terkejut, air danau pasti sedingin es, suhu udara terus menurun sepekan terakhir, tak satupun samurai yang mencari berani turun ke danau sebab cuaca buruk.
Namun beberapa samurai setia Naruto akhirnya turut melompat turun dan membantu Naruto yang nampak kalut.
...
Setelah kekacauan terjadi, Naruto dibawa pulang oleh beberapa samurainya dengan pakaian basah kuyup karena menyelam di danau. Awalnya dia menolak, namun Hiashi menyeretnya paksa sampai tiba di rumah.
Hiashi mengerti, Naruto mungkin sangat terpukul sama sepertinya namun melakukan hal gegabah, hanya akan membuatnya celaka juga
Naruto sekarang terdiam di depan perapian di kediamannya, tak berencana mengganti pakaiannya yang kebasahan dan membuatnya mengigil tanpa sadar, dia hanya termenung menatap perapian dan menggenggam cincin giok milik Hinata.Di tengah lamunannya, pintu geser dibuka dan seseorang melangkah masuk dan turut duduk di ruangan itu bersamanya.
"Mungkin benar Hinata sudah pergi." Hiashi harus mengatakan ini meski juga pahit untuknya.
"Pelayan mengatakan di pagi harinya, Hinata sempat mengatakan ingin pergi ke mansion menemuiku namun dia pergi tanpa berpamitan di sore hari, mungkin dia tergelincir saat sedang melintas." Hiashi simpulkan begitu yang terjadi.
"Aku tak ingin mendengar kata 'mungkin' untuk berita kematiannya." Ucap Naruto tanpa menoleh.
"Bukan hanya kau yang berduka, Naruto." Hiashi tak ingin memperkeruh situasi.
"Sebelum kutemukan tubuhnya, aku tak akan menganggapnya telah mati." Naruto berucap dengan suara tercekat.
"Jangan melakukan hal bodoh, atau kau mungkin akan mati saat mencarinya." Hiashi tidak tahu jika Naruto akan senekat tadi melompat dari tebing batu setinggi belasan meter dengan air sedingin es menyambutnya di bawah sana.
Bukankah jika seseorang mati, yang lainnya harus tetap melanjutkan hidup, meski berat dan penuh duka?
...
Setelah semua orang pergi dari kediamannya dan memutuskan untuk pencarian dilanjutkan esok hari, Naruto kembali ke tebing batu itu di tengah malam menjelang dini hari.
Pria itu duduk di tebing batu seorang diri, angin musim dingin menerpa tubuhnya yang kini dibalut kimono dan hakama tebal berwarna hitam, menunjukan dukanya.
Satu jam, dua jam, tiga jam dia duduk di sana, rembulan di langit nyaris bergantikan matahari, namun yang ada hanya keheningan, dia menatap semua bagian permukaan danau dan tak mendapati wanita itu ada di sana.
Jika benar sudah mati, jasadnya akan muncul ke permukaan, bukan begitu?
"Hinata, maafkan aku."
Ucapnya dengan suara lirih, air mata berjatuhan ke pipinya, dia merasa duka ini terlalu berat untuk ia lalui.
Dia terus teringat saat wanita itu menahannya pergi di rouka malam sebelum ia berangkat ke Utara sambil menangis, apa itu firasatnya?
Wanita itu ingin dirinya tetap di rumah, namun dirinya bersikeras untuk tetap pergi.
Naruto menjambak surainya dengan pelan dan setelah duka itu menyelimuti dirinya, yang tersisa adalah penyesalan dan perasaan bersalah karena meninggalkan wanita itu sendirian.
Maka Naruto di sini malam ini, ia tak akan meninggalkan wanita itu sendirian lagi.
...
Jasad wanita itu tenggelam hingga ke dasar danau sedalam dua puluh tujuh meter jauhnya, di tengah musim dingin.
surai indigonya tersangkut di pepohonan di bawah air sehingga jasadnya tidak naik ke permukaan meski dua hari sudah berlalu.
Jelas saja wanita itu telah tiada di hari katana tajam itu menembus perutnya dan tubuhnya terjatuh ke dalam air sedingin es, hingga tidak bisa bernapas dan akhirnya tenggelam.
Meski raganya ada di bawah sana tenggelam dan tak akan pernah bisa diraih kembali, mungkin jiwanya akan merasa sedikit senang sebab akhirnya suaminya datang menemaninya, setelah dia habiskan dua malam sendirian di kegelapan.
Atau mungkin justru sebaliknya, jiwanya tidak akan senang melihat suaminya datang kemari, menangisi kematiannya sepanjang malam dan menyalahkan dirinya sendiri.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Rise of the Yokai
FanfictionSeorang samurai telah membuat perjanjian terlarang dengan Dewa Inari. Bahkan jika harus mati karena kutukannya, dia tidak peduli asal bisa melihat wanita itu hidup kembali.