Omake

1.5K 173 21
                                    

Naruto memayungi istrinya saat wanita itu melangkah keluar rumah. "Mau ke mana hm?"

"Melihat-lihat." Hinata berpegangan pada lengan kokoh suaminya seraya melangkah pelan dan hati-hati di atas suripa kayunya.

"Melihat apa?" Naruto jadi sangat khawatir melihat wanita hamil itu ingin berpergian keluar rumah.

Hinata mendongak menatap suaminya dengan raut sedih setelah mendapati pertanyaan-pertanyaan dengan nada larangan dari pria itu.

Naruto berdehem pelan mendapati tatap rajuk dari istrinya. "maksudku, aku sangat khawatir."

"Hitungan hari persalinannya sudah lewat, namun bayinya belum juga lahir." Hinata berucap dengan suara pelan. Tabib mengatakan banyak berjalan akan membantu bayinya lekas lahir.

"Prediksi dan perhitungannya bisa saja salah dan meleset, jangan khawatir." Naruto menenangkan wanita itu, dia tahu istrinya sangat sedih beberapa hari terakhir sejak prediksi persalinannya sudah terlewati.

Meski begitu, keduanya tetap berjalan bersisian menapaki jalan keluar dari pagar kediaman mereka. Naruto tak sampai hati melarang saat melihat istrinya sebegini resahnya soal persalinan. Wanita itu terus berjalan mengelilingi rouka rumah, namun belum juga menunjukam tanda akan bersalin, kini dia ingin berjalan sedikit lebih jauh keluar rumah dan Naruto menemaninya.

"Ada cara lain untuk membujuknya lekas lahir." Naruto ingat saran tabib yang lainnya daripada berjalan keluar rumah.

Hinata mengangkat alisnya dan menatap pria itu. Dirinya lupa jika ada cara lain. "apa itu?"

"Kita melakukannya saja di rumah." Naruto menghentikan langkahnya dan juga menahan lengan wanita itu untuk berhenti melangkah dan mempertimbangkan cara lain tersebut.

Hinata membuang muka ke arah lain dengan pipi yang memerah. "tidak mau." dia lalu mengambil alih payung miliknya untuk dipegang sendiri.

"Kenapa?" Tanya Naruto dengan nada kecewa yang sulit dia tutupi. Keduanya melanjutkan langkah bersisian.

Hinata tidak percaya diri dengan tubuhnya saat ini, dia malu dan melakukannya dengan bayi di tengah mereka rasanya sedikit tidak nyaman, seolah tengah diawasi. "tidak nyaman."

Naruto lalu merangkul pinggul wanita hamil itu, jika itu alasannya baiklah dia mengerti, memang sedikit tida nyaman dan harus sangat berhati-hati. "baiklah, kita berjalan dan melihat-lihat tidak apa-apa."

Hinata hanya ingin mengelilingi area ini, musim semi berada di pincaknya dan bunga sakura memenuhi tepi-tepi jalan dengan indahnya, bukankah sayang sekali jika terlewati begitu saja?

Naruto menggenggam tangan wanita itu dengan erat, memastikannya tidak tersandung bebatuan dan terjatuh. Hingga dia nanti lelah dan minta digendong pulang ke rumah.

...

Di titik ini Naruto tak lagi bisa mengatakan tidak pada permintaan istrinya, bahkan meski wanita itu meminta naik ke tebing batu dan duduk bersisian di atasnya.

Wanita itu mungkin tidak tahu bahwa tempat itu memberikan sebuah trauma masa lalu bagi Naruto, namun kembali lagi saat ini dia tidak biaa bilang tidak, maka mereka benar akhirnya duduk bersisian di sana.

"Tempat ini menyimpan banyak luka untukku." Gumam Naruto seraya merangkul pinggang Hinata dengan kencang.

Hinata menoleh ke arah pria itu. "tebing batu ini-.." dirinya sungguh tidak tahu.

Naruto menatap mata amethyst wanita itu dan mengangguk. "tempat kau pernah terjatuh, tempat aku menangisimu sepanjang sisa musim dingin tahun lalu."

"Maafkan aku, Naruto." Hinata menatap sendu ke arah danau di bawah sana, penuh dengan hamparan bunga sakura yang mengambang di atasnya, menyebabkan dia berpikir bahwa jika jatuh di atasnya akan terasa lembut dan tak menyakitkan.

Rise of the YokaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang