05. Winata Capek

4.7K 260 12
                                    

Hay, haloooo👋

Aku lagi galau tauuu :(

Btw, vote ama komen dong! Biar apa? Biar aku gak galau dan semangat nulisnya.

Btw, follow akun ini yuk. Biar kalian dapet notif terus dari aku hehe.

Happy reading y'all 👀

.
.
.

Dua hari berlalu, kini Winata tengah terbaring di atas ranjangnya. Matanya terpejam rapat, semalam Brian membiarkannya keluar dari gudang.

Winata kala itu berjalan dengan sempoyongan menuju kamarnya, kepalanya berdenyut begitu sakit. Dadanya serasa diremas.

Sejak semalam hingga siang ini, Winata enggan untuk bangun dari tidurnya.

Kamarnya gelap akibat gorden yang ia tutup, tubuh kurusnya tertutup selimut tebal. Ia tertidur dengan posisi menghadap ke kanan, memeluk bantal guling yang sudah menemaninya sekitar lima tahun terakhir.

"Pembunuh!"

"Lo yang udah ngebunuh Bunda!"

"Balikin Bunda ke gue!"

"Bunda mati itu karena lo, sialan!"

Winata membuka matanya, air mata mengalir begitu saja dari pelupuk matanya. Ia lantas merubah posisinya menjadi duduk dan bersandar pada headboard.

Winata mengecek jam di ponsel miliknya, pukul dua lebih tiga puluh menit sore.

Winata meregangkan otot-otot tubuhnya, ia membuka selimut yang menutupi tubuhnya itu. Turun dari kasur dengan perlahan, ia merasa tubuhnya sedikit lebih segar.

Winata membuka gorden yang ada di kamarnya, ia menatap ke luar jendela. Awan nampak begitu cerah, bahkan matahari masih bersinar dengan terik.

Setelah puas menatap ke luar jendela, ia berjalan ke kamar mandi. Berniat untuk membersihkan dirinya, ia mengisi bath up dengan air dingin hingga lumayan penuh.

Winata masuk ke dalam bath up, membiarkan dirinya terendam air dingin itu.

Persetan dengan asmanya yang bisa saja kambuh jika ia terlalu lama berendam air dingin, Winata memejamkan matanya kala sensai dingin itu mulai menyentuh kulitnya.

Air, sangat menenangkan.

.
.
.

Dewa tengah duduk di salah satu kursi taman bersama Tasya. Iya, Tasya. Gadis yang menjadi pujaan hatinya.

Keduanya tengah menatap anak-anak kecil yang tengah berlarian kesana kemari sembari tertawa riang, Dewa menatap ke arah tiga anak kecil yang tengah berkejar-kejaran itu dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

"Kakak! Bolanya jangan dibawa lari, ish!" teriak salah satu anak kecil.

Yang paling tinggi terdengar tertawa, "Ayo kejar, ambil bolanya!" teriaknya.

Kedua anak dengan tinggi yang dapat dikatakan sama itu saling menengok lalu kompak mengejar yang paling tinggi.

Hal itu, mengingatkannya pada kejadian beberapa tahun silam. Di tempat yang sama, dan cuaca yang sama.

WINATA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang