21. Anak Pembawa Sial

3.6K 274 24
                                    

Hay, haloooooo. Apa kabar? Yang harinya lagi buruk, semoga besok lebih baik ya.

Semangat!

Aku lagi sedih pake banget, jadi ya, terciptalah chapter satu ini 🙂

Vote dulu sabi kali, 250 views, 15 komen ama 70 vote gue up ye wir! HWAITING! SU SU NA KHA!!

Enjoy, and happy reading y'all 👀

.
.
.

Sudah hampir hari ketiga sejak keberangkatan Malik, namun Malik belum juga mengabari Brian.

My hero

You
Ayah? Udah sampe kan?|
Ayah jawab Brian|
Ayah baik-baik aja kan?|
Ayah gak naik pesawat itu kan?|
Iya kan, Yah?|
Bilang ke Brian kalau Ayah bukan penumpang pesawat itu!!|
AYAH! JAWAB BRIAN YAH!|
BRIAN KHAWATIR SAMA AYAH!|

Bukannya balasan yang Brian dapatkan, pesan darinya yang ia kirim pada sang ayah hanya ceklis satu. Brian mengacak rambutnya frustasi, hampir setiap jam ia mengirimi ayahnya pesan.

Sudah ratusan bahkan ribuan pesan yang ia kirimkan pada sang ayah, namun tak satu pun pesan ayahnya balas.

Brian bahkan membolos kuliah selama tiga hari, ia tak bisa fokus kalau begini ceritanya.

Pemuda pemilik tatapan elang itu menghempas ponselnya ke sembarang arah, menghela napas kasar lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur.

Kepalanya tertoleh, menatap jam dinding yang kini menunjukkan pukul satu siang. Brian bangkit, berjalan menuju kamar Dewa.

Tanpa permisi, anak tertua dari pasangan Malik dan Vikah itu masuk ke dalam kamar si bungsu. "Dewa, makan dulu yuk. Mau makan apa? Biar Abang siapin." ujar Brian lembut, ia duduk di tepi ranjang sang bungsu lalu menepuk-nepuk lembut kaki Dewa.

Iya, Dewa tengah sakit saat ini.

Anak itu demam setelah sehari dua malam menangis tanpa henti, meraung memanggil sang ayah.

Dewa melenguh kecil, membuka kelopak matanya. "Abang," panggilnya lemah.

"Kenapa? Ada yang sakit? Coba kasih tau ke Abang." ucap Brian, nada bicaranya begitu lembut.

Dewa menggeleng, mengubah posisinya menjadi duduk bersandarkan headboard. "Dewa makan ya? Abang siapin makanannya, abis makan minum paracetamol, biar demamnya turun." ujar Brian sembari memijit pelan kaki Dewa.

Dewa menggeleng lagi, "Ayah gimana, Abang?" tanya sang bungsu, netranya kembali berkaca-kaca.

Brian beringsut mendekati sang bungsu, "Ayah belum ngebales chat dari Abang, kita sama-sama berdoa ya, supaya Ayah baik-baik aja." ucap Brian.

Dewa terisak pelan, "Ini semua salah Winata, Bang! Anak itu emang pembawa sial!" ucap Dewa sendu.

"Winata?" beo Brian.

"Iya, kalau aja dia gak anter ke bandara dan gak peluk Ayah pas di bandara, Ayah pasti bakalan baik-baik aja, Bang." ucap Dewa, dirinya sesenggukan.

"Winata itu cuman anak pembawa sial, Bang." ucap Dewa.

"De—"

Prak!

Brian dan Dewa menoleh ke arah pintu kamar Dewa secara bersamaan, bunyi sesuatu pecah berhasil menarik atensi keduanya.

"Biar Abang cek." ucap Brian, menepuk pelan paha Dewa seraya beranjak dari kasur Dewa.

Berjalan mendekati pintu, menarik tuas pintu itu ke bawah. "Ngapain?" tanya Brian datar.

WINATA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang