31. Salah Paham

3.8K 257 12
                                    

Hai, haloooo. How's your day? Everything's good?

Tekan bintang di bawah dulu kuy! Biar gak jadi siders😋

An/ tulisan full miring artinya flashback ya😉

520 views, 135 vote, 25 komen aku up! Kalau dikasih tantangan buat komen tiap paragraf bisa ga yaaaa?

Enjoy, and happy reading y'all 👀

.
.
.

Tak pernah terpikirkan oleh Dewa jika ia akan kehilangan Winata secepat ini. Sosok yang sepuluh tahun belakangan ini ia acuhkan, kini sudah pergi meninggalkannya.

Menyusul kedua orang tuanya, meninggalkan dirinya dan si sulung—Brian.

Ah, apakah Brian belum mengetahui jika Winata sudah tiada?

Perawat tadi mengatakan jika jenazah Winata tengah diurus oleh pihak keluarga di ruang jenazah bukan? Apa itu Brian? Atau jangan-jangan Dokter Juna?

Tapi tak mungkin Juna. Atau Cakra dan keluarganya?

Dewa merogoh ponsel miliknya yang berada di saku jaket, mencari nomor sang sulung lalu men-dial-nya.

Butuh waktu sekitar tiga puluh detik hingga akhirnya telfon itu tersambung, "Abang ... " Si bungsu langsung memanggil si sulung, suara anak itu terdengar serak.

"Wa, lo kenapa?" tanya Brian panik, pasalnya Adik bungsunya ini sangat jarang menangis.

"Winata, Bang ... " Setelah mengucapkan hal itu, Dewa terisak hebat.

"Lo di rumah sakit? Wa, lo sama siapa? Dewa, jawab gue. Wa, gue ke sana sekarang!" Brian langsung memutus sambungan telfon itu.

Pemuda pemilik tatapan elang itu langsung bergegas mengambil kunci motornya, tak peduli jika dirinya hanya mengenakan kolor rumahan dan kaos abu-abu polos.

Mengambil helm lalu mengenakannya dan dengan segera menyalakan motor matic berwarna hitam dengan sedikit corak biru tua itu, melaju membelah jalanan sore ini.

Pikirannya kini hanya tertuju pada rumah sakit Kenanga, Dewa—Adiknya menangis. Kenapa Adik kecilnya itu menangis?

.
.
.

Dewa terisak hebat, tubuhnya masih saja berlutut di lantai. Anak itu bahkan sesenggukan, tak terpikir olehnya jika dia harus kehilangan sang Ayah dan saudaranya itu dalam waktu yang sangat singkat.

"Bunda, Ayah ... Kenapa Winata juga harus kalian bawa?!" lirihnya di sela-sela isakannya.

"Loh, Dewanjing?!" pekik Cakra begitu mendapati Dewa tengah berlutut dan menangis hebat.

Lorong ICU memang terbilang sepi, jarang para medis atau orang umum yang melewati lorong ini. Kecuali para medis yang bertugas dan mereka yang berkepentingan saja.

"Cakra," panggilnya lirih.

Cakra ikut berlutut, ia memegang kedua pundak Dewa. "Lo kenapa, heh?!" tanyanya panik.

Bagaimana tidak? Sahabatnya itu menangis?? Cakra tidak salah lihat dan dengar bukan.

"Winata pergi, Cak ... Di–dia ninggalin gue ... " isak Dewa, anak itu menatap Cakra dengan sorot penuh luka.

WINATA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang